“Ini dunia nyata, ini nyata, bukan episode dari cerita sendu dalam novel yang tengah kau baca, wake up …”
Lemas
seluruh persendian, lunglai tak ada daya. Rasa sakit yang luar biasa
menusuk-nusuk bagian dada, pedih. Saya kembali membaca tulisan yang
tertulis tidak rapi di atas secarik kertas putih itu. Kemarin saya
simpan di dalam dompet, Seletah dibaca, saya menekan tombol-tombol di
telpon genggam, dikirimkan pada adik saya. “tolong bantu googling di inet yaa…emailin ke aku ya, segera, makasih”. Pesan singkat terkirim.
Rasa
penasaran yang bertubi-tubi membuat saya mengalahkan rasa kesal karena
jaringan di ponsel yang tidak bersahabat. Namun hasil pencarian saya
tidak memuasakan, selain itu membaca di telepon genggampun terasa tak
nyaman. Saya yang biasanya sangat mudah kecewa dan marah untuk hal-hal
kecil seperti ini, hanya bisa menampakkan wajar datar tanpa ekspresi.
Kejadian seminggu terakhir yang sangat menguras energi, emosi dan
pikiran, membuat yang hal-hal kecil menjadi benar-benar kecil.
Hari ini sengaja Saya membawa netbook ke Rumah Sakit. Membuka email dari adik saya, langsung dibuka attachment-nya.
Dari sekian banyak artikel yang berbahasa inggris, saya buka artikel
yang berbahasa Indonesia. Sebuah hasil penelitian terhadap newborn babies yang mengalami perdarahan di otak (intracranial haemorrhage)
pada grade 1, 2, 3 dan 4. Terpatri di kepala saya, tabel itu, sebuah
tabel hasil penelitan yang diulas dalam artikel tersebut:
70% Tidak terselamatkan
27% Selamat - Catat (berat, sedang dan ringan)
3% Selamat - normal pasca therapy
Saya baca lagi tulisan Dokter Rudy di kertas yang sudah agak kusut: “subependymal haemorrhage grade 3”.
“Jadi
memang agak rumit Bu, Pak, ini ada dua kondisi pada anak Ibu dan
Bapak. Kondisi pertama adalah gangguang fungsi koagulasi itu yang
sementara kita simpulkan, kondisi pertama ini menyebabkan kondisi yang
kedua tadi bu, jadi ada perdarahan di otak, dan itu di bagian otak kanan
dan kiri…” dr Rudy membuka Buku Tebal. Seperti kamus-kamus hukum yang
biasa saya lihat dan baca di Perpustakaan dulu.
“Ini Bu…”
disodorkan pada saya halaman 326. “Dan berdasarkan hasil USG, dan
menurut catatan dari Radiolog, ada pada tingkat 3 bu, dari grade 1- 4,
anak Ibu berada pada grade 3“. “Jadi saya bisa katakan, yang kita
lakukan sekarang ini, adalah mencoba membantu bayi Ibu untuk survive
bu, itu saja.” Anggap saja ini pengorbanan yang harus Bapak dan Ibu
lakukan untuk mendapatkan putra. Ini anak ketiga dan kakak-kakaknya yang
perempuan kan?”
“What???” Saya seperti mau
meledak…pengorbanan? Anakku harus berjuang untuk survive, pengorbanan
untuk mendapat anak laki-laki?” Jadi ini salah siapa? Kenapa anakku yang
harus mengalaminya? Tersendat di ujung tenggorokan Saya. Seminggu ini
Saya begitu merasa lelah, selalu saja ledakan-ledakan itu tak jadi
meletup, tiba-tiba meluruh. Dengan rasa sakit di dada yang makin
menjadi.
“Tidak bisa dilakukan apapun Dok?” pertanyaan ini
seperti makin menusuk-nusuk rasa sakit di dada saya. ”Kami tidak berani
Bu, alternatif yang paling memungkinkan, iya menunggu perdarahan itu
terserap secara alami, tidak ada pilihan lain yang bisa kami tawarkan.”
“Ini grade-3 Bu, efek sampingnya adalah pembesaran rongga kepala, Ibu
tahu? pernah dengar hydrocephalus. Jika perdarahan terus terjadi dan
tidak ada penyerapan, bisa terjadi seperti itu. Tapi melakukan semacam
tindakan untuk menyedot cairan darah di otaknya itu sama sekali tidak
akan kami rekomendasikan untuk newborn baby. Banyak-banyak berdoá saja Pak, Bu, kami tidak ingin memberi harapan yang berlebihan”.
Seperti
sepasang orang bodoh, Saya dan suami tak bergeming. Sampai kemudian
Dokter Rudy menuliskan sesuatu di secarik kertas dan menyerahkannya pada
Saya. “Ïni Bu, Pak, Silahkan Bapak, Ibu cari sendiri di internet,
barangkali kalau membaca sendiri bisa memahaminya lebih, saya khawatir
apa yang saya sampaikan tidak mewakili apa yang seharusnya Bapak dan Ibu
pahami”.
“Hmm maksudnya kami tidak mengerti penjelasan
Dokter, tidak paham apa yang tertulis di kamus kedokteran berbahasa
inggris itu, begitu kan?” hanya tersimpan di hati, lagi-lagi tak ada
yang keluar dari mulut Saya. “Terima kasih Dokter”, suami saya memahami
gelagat air muka Saya. Bola mata Saya mengerjap, menahan jatuhnya air
dari sudut matanya. “Tidak perlu, tidak boleh menangis…setelah seminggu
ini menunggu dalam ketidakpastian, sama sekali bukan jawaban yang ku
inginkan. Dek Paksi akan baik-baik saja.” Gemuruh dada Saya.
Seminggu
menunggu dalam ketidakpastian, seminggu menunggu bisa bertemu Dokter
Rudy sebagai ketua tim yang menangani Adek Paksi. Tepat 1 Oktober 2011,
Saya mendapat jawaban.
Dan yang Saya terima adalah sikap
yang sangat pragmatis, penjelasan yang demikian lugas. Hati Saya tak
bergeming, sudah sedemikian nyeri. Tidak terlihatnya empati dari Dokter
Rudy tak boleh membuat saya makin terpuruk. Entah kenapa, Saya semakin
merasa kuat. Dek Paksi akan baik-baik saja. Begitu saya meyakininya,
saya tanamkan dalam hati dan pikirannya, mencoba mengalahkan perih dan
sakit.
Dokter dan perawat jaga yang ditemui selama mereka menjenguk dek Paksi di NICU (Newborn Intensive Care Unit), tak berani memberikan statement.
“Nanti Dokter Rudy sebagai ketua tim ya bu, yang berwenang
menyampaikan”. Setiap ada pertanyaan hanya itu yang disampaikan. “Iya
bu, termasuk hasil USG hari ini bu, akan disampaikan Dokter Rudy. “
Kesibukan
karena kuliah untuk sub spesialis dan menjadi pejabat struktural di
Rumah Sakit membuat waktu kunjung Dokter Rudy ke ruang NICU tidak sesuai
jadwal jam kunjung orang tua pasien. Sampai akhirnya dua hari setelah
USG Kepala dilakukan, secarik kertas inilah jawabannya.
“Anakku
masuk yang 3% ini” Batin Saya, menguat. Rasa nyeri dan ngilu pasca
melahirkan secara cesar terkalahkan oleh rasa perih dan sakit saat harus
meninggalkan bayi mungil yang tampan di dalam incubator itu setiap
pukul 7 malam karena waktu kunjung orang tua sudah berakhir. Rasa sedih
tak terkira, saat harus memerah air susu di tengah malam, karena
payudara yang sudah penuh. Membayangkan wajah mungil yang belum juga
tersadar dengan segala atribut di tubuh mungilnya, yang seharusnya
berada dalam pelukan saya untuk menyusu. Penuh cinta Saya menyimpannya,
menyusun dan memberi label botol demi botol ASI perah itu, nama, tanggal
dan jam saat saya memerah. Semua dengan keyakinan suatu hari bayi
tampan saya membutuhkannya, suatu hari akan dengan lahap meminumnya.
Sudah
tidak ada tangisan, sudah bisa tersenyum menyapa orang tua lain yang
bayi mereka bersama-sama dek Paksi, menginap di ruang NICU Kemuning ini.
Sudah bisa mengomentari candaan para perawat. Percaya bahwa dalam
diamnya, adek Paksi mendengar setiap kata yang keluar dari bibir saya,
mendengar suara lantunan zikir, ayat kursi, surat yasin dan semua
motivasi yang disampaikan dari luar incubator.
“Kamu
anak kuat sayang, kamu pasti bisa…ayo cepat sehat, supaya cepat pulang,
bobo sama Ibu, Ayah, sama Kakak-kakak…, Kakak kangen Adek tuuuh.”
Bahkan kakak-kakaknya tidak diizinkan untuk melihat Dek Paksi di ruang
ini, “Parents Only”. Air mata tak bisa dibendung, meski senyum sudah
menghias bibir saat membisikannya. “Kamu kesatria terpilih Ibu, yang
akan menjaga Ibu dan Kakak-kakakmu…Apapun yang terjadi kamu akan selalu
jadi Kesatria Ibu…”
“Sudah bisa diberi ASI ya bu,
tapi baru 30 cc per hari yaa, kalau tidak ada masalah, besok dinaikkan
jadi 50 cc, Ibu ada ASI-nya kan?”, di hari ke-lima, Dokter Hengky yang
justru lebih sering bertemu di ruang NICU memberi kabar gembira. “Ada
dok, saya simpan di kulkas, Colostrumnya pun masih ada dok”. Penuh
semangat Saya menimpali. “Alhamdulillah, sekalipun hanya 30cc, dan harus
disuntikkan lewat selang yang dipasang di saluran pencernaan melalui
mulut dan tenggorokannya”, itu kabar gembira yang pertama Saya dengar
selama beberapa hari menjadi pengunjung NICU. “Mudah-mudahan ya bu,
dibantu dengan ASInya ya…insyaAllah”.
Saya memilih
untuk percaya pada keajaiban air susu ibu, teringat kata-kata Ibu saya
saat menemani menjaga dek paksi di hari pertama dia lahir, sesaat
setelah ada darah di feses dek Paksi. “sudah gak usah bilang dokternya,
susui saja yang banyak nanti juga sembuh”. Adanya darah pada feses ini
makin menguatkan dugaan ada sesuatu yang salah pada dek Paksi. Semua
baik-baik saja sampai 12 jam setelah kelahirannya, dia memuntahkan darah
dari mulut dan hidungnya. “kemungkinan tertelan darah saat persalinan
bu...” Dokter Fajar, dokter anak yang mendampingi persalinannya mencoba
menenangkan.
Hingga 6 jam diisolasi di ruang perawatan
intensif, harus dilakukan transfusi darah sampai akhirnya dirujuk ke
Rumah Sakit Harapan Kita, Saya masih berharap dek Paksi hanya tertelan
darah persalinan. Saat sudah bisa bangun dari posisi tidur setelah 24
jam terbaring pasca cesar, rasa sakit dan nyeri itu terkalahkan oleh
rasa sepi, rasa hampa tanpa seorang bayi mungil yang selama 38 minggu
menemani hari-hari Saya. Baru 19 jam bersama, harus merelakannya diantar
ayahnya dan seorang perawat dirujuk ke Rumah Sakit yang lebih lengkap.
Semua
bisa terjadi, semua yang tidak pernah kita pikir akan terjadi dan kita
alami dapat terjadi. Saya percaya itu sudah kehendakNya. Sampai saat ini
Dokter-dokter tidak bisa menjawab kenapa? Riwayat kehamilan, riwayat
persalinan bahkan riwayat penyakit dalam garis keturunan ke atas.
Biasanya kalau laki-laki dari pihak Ibu. Saya tidak mendapatkan jawaban
selain tidak. “tidak ada, belum ada yang mengalami seperti itu di
keluarga kita.” Kakak saya dari kampung memastikan.
“Seharusnya
tidak terjadi bu, kalau kita coba lihat dari semua faktor, seharusnya
tidak terjadi bu, bayi ibu sudah diberi vitamin K pada saat lahir. Kami
tidak atau belum bisa memastikan penyebabnya, anak ibu terpilih.”
Sejak
menerima telpon dari Rumah Sakit Harapan Kita meminta persetujuan orang
tua, bahwa bayinya harus dipindahkan dari ruang perawatan intensif
level dua di ruang Seruni ke level tiga Ruang Kemuning karena terjadi
kejang, Saya tidak lagi ingin tahu penyebabnya. Memikirkan ini, hanya
akan memunculkan gugatan-gugatan, yang pada akhirnya makin melelahkan
jiwa. Saya ingin tahu apa yang bisa dilakukan untuk dek Paksi. Apapun
akan saya lakukan, yang terbaik.
Pengalaman hidup yang
luar biasa tengah Tuhan ajarkan pada Saya. Memiliki seorang Kesatria
Terpilih, menjaga rasa percaya, optimisme dan positive thingking.
Menjaga rasa itu setiap hari, tanpa berhenti sampai hari ini. Melewati
masa-masa pilu saat mencoba menyadarkan bayi saya yang sedang belajar
menyusu, antara sadar dan tidak sadar. Setiap hari selama hampir satu
bulan, tiga kali dalam satu hari, selama kurang lebih satu jam yang
disediakan oleh pihak Rumah Sakit untuk para Ibu menyusui yang hendak
menyusukan bayinya di ruang perawatan intensif itu.
Setiap
hari mengulang pelajaran yang sama, membisikkan kata-kata yang sama,
“Ayo semangat sayang, ayo mimik, kamu bisa, yuuk pintar, kemarin kan
sudah pintar, ayo hari ini juga bisa…” “Dokter kenapa bayi saya seperti
lupa cara menyusu? Kenapa seperti tidak sadar?Itu pengaruh perdarahannya
atau pengaruh obatnya”. Tidak ada jawaban yang memuaskan, sampai Saya
memutuskan untuk berhenti bertanya. “Anakku pasti bisa, dia pasti kuat
melewati masa-masa ini, pasti, dengan izinNya...”
Semua
yang harus Dek Paksi lewati akan dilewatinya dan Dek Paksi akan
baik-baik saja, dan akan tetap jadi Kesatria terpilih untuk Saya. Begitu
yakin Saya, hingga seolah-olah setiap aliran darah saya meyakini semua
itu.
Paksi harus melewati USG seminggu sekali, sampai USG
ke enam menunjukkan hasil diluar dugaan, tidak ada perdarahan baru,
terjadi proses penyerapan di otak kanan dan kirinya. Hal yang cukup
mengagetkan Radiolog yang memeriksanya.
Dek Paksi juga harus menjalani tindakan “Lumbal Fungsi”,
karena meski hasil USG menunjukkan perbaikan tapi panasnya tak kunjung
reda. Hal yang membuat Saya merinding dan amat sangat cemas. Sekali
lagi, sesuatu di luar pikiran Saya yang membimbing saya untuk
mempercayakan pada Sang Maha Baik, bahwa jika ini yang harus dilewati
Dek Paksi, maka itulah yang terbaik, dan hasilnya adalah “negative”,
tidak ada infeksi di otaknya.
Dek Paksi juga harus beberapa kali menjalani beberapa kali “EEG” untuk memastikan fungsi syarafnya. Harus mengkonsumsi obat untuk meredam kemungkinan timbulnya kejang sampai usia enam bulan.
Proses
tumbuh kembangnya terus dipantau dan dievaluasi, meminimalisir
keterlambatan tumbuh kembang sebagai akibat matinya sel-sel otak akibat
perdarahan yang terjadi. “Sel-sel otak ini tak bisa dikembalikan bu,
tapi fungsinya sangat mungkin digantikan oleh ribuan sel-sel lain yang
terus tumbuh seiring tumbuh kembangnya.” Saya mencatat pernyataan Dokter
Atilla, Neourolog yang menangani Dek Paksi.
Di usia
sembilan bulan saat masa evaluasi atas obat kejang berakhir, Saya
dikagetkan oleh telpon Mbah Putri dari rumah. “Paksi tadi kayaknya kesal
gitu pi, terus dia nangis tapi gak keluar suara, mukanya sampai biru,
sampai 30 detik kayaknya, baru setelah keluar tangisnya, trus habis itu
dia lemas...” ini kenapa pi?” suara panik di sebrang sana, tapi Saya
belum terbayang apa yang terjadi. “Apalagi ini Tuhan?? Paksi pasti
baik-baik saja kan?pasti kan?” ada suara yang membisiki Saya, “Pasti”.
Dokter Fajar dengan tenang menjawab, “breath holding spells
bu, itu tidak ada obatnya, sebetulnya tidak ada tindakan khusus bu…tapi
sebisa mungkin kenali penyebabnya, jangan sampai adik terlalu sering
mengalami hal ini ya bu…” akhirnya Saya tetap harus bersyukur terlebih
saat melakukan konfirmasi ke Neuorolognya dan mendapatkan jawaban yang
sama.
Saya belum tahu apa lagi yang mungkin terjadi pada
Dek Paksi. Satu hal yang terus saya tanamkan dalam hati dan fikiran,
yang selalu saya bisikkan pada putra saya saat menjelang tidur. “Kamu
akan baik-baik saja Nak, kamu termasuk yang tiga persen itu Nak…”
“Tuhan sedang mengajari Ibu arti bersabar dan berpikir positif…lewat kamu ksatriaku…Ksatria Pilihan.”
Catatan:
*USG
atau ultrasonografi adalah suatu teknik diagnostik pencitraan yang
menggunakan ultrasonik yaitu gelombang suara dengan frekuensi yang lebih
tinggi dari kemampuan pendengaran manusia. Teknik ini digunakan untuk
mencitrakan organ internal dan otot, ukuran serta strukturnya. Secara
umum kegunaan USG adalah membantu menegakkan diagnosis dalam berbagai
kelainan organ tubuh
**EEG adalah kepanjangan dari
Elektroensefalografi atau Rekam Otak yang merupakan pemeriksaan
fungsional dari otak, untuk membantu menegakkan diagnosa / untuk
melengkapi data diagnosa kelainan fungsional diotak.
***Lumbal
Fungsi adalah suatu prosedur untuk mengambil cairan Liquor
Cerebro-Spinal (LCS) yang berada di dalam ruang subarachnoid yang
melingkari seluruh sistem syaraf pusat.
Adek Paksi.. sehat ya nak...
ReplyDeleteamiin, insyaAllah sehat terus tante
DeleteAku sampe mbrebes mili bacanya mba. Ga prnh tega kalo melihat anak bayi yg harus mengalami begini :( . Tp skr dek paksi sudah sehat yaa.. Udh lucu dan besar kalo dari foto2 nya :)
ReplyDelete