Hmm emang ada yang nanya ya?? kayaknya gak ada sih. Tulisan inipun tidak ditujukan sebagai bentuk pembelaan diri atau justifikasi apapun. Tak lain karena saya sekarang sudah jauh lebih pasrah, - kalau pake kata tawakkal takutnya belum pantes- bahwa memang di jalan inilah hidup saya hari ini, saat ini. Ibu bekerja dengan 3 anak yang masih kecil-kecil . Tulisan inipun bentuk spontanitas saja. Memang sejujurnya antara lain karena tersenggol (gak sampai tertampar) oleh banyaknya broadcast dan share di berbagai media sosial baik berbentuk gambar yang disertai suatu percakapan, maupun hanya memuat percakapan antara Ibu dan anak yang pada intinya mengumpamakan seorang ibu yang bekerja menitipkan anaknya pada ART di rumah, sebagai Ibu yang menilai anaknya tak lebih bernilai dari harta benda.
Duuh saya sebagai Ibu bekerja jujur merasa seperti tertusuk langsung di ulu hati. marah? tersinggung? ah bukan itu sebetulnya, saya sudah lebih tenang mensikapi pandangan yang seperti ini. Lebih tepatnya mungkin rasa sakit itu dsiebabkan karena saya merasa, tak ada niat seorang Ibu manapun yang dengan berbagai alasan harus bekerja dan meninggalkan anaknya di rumah adalah karena menilai anaknya tak lebih berharga dari harta benda.
Saya masih bisa ngeles, lhoo saya gak nitipin anak-anak sama si embak/bibi kok. Saya nitipin sama Mbah dan Akungnya (alhamdulilaah, semoga mereka selalu diberi kesehatan, dimuliakan derajatnya, amiin), si embak cuma membantu menjaga mereka. Tapi esensi yang saya dapat dari pesan itu tak menghilangkan rasa berat di dada saya untuk mengakui bahwa saya salah satu Ibu yang dimaksudkan. Betulkah saya menilai anak-anak saya, bintang kehidupan saya, semangat saya, jiwa saya, cinta saya dan hidup saya tidak lebih berharga dari harta benda??Apakah karena harus bekerja, saya menjadi Ibu dengan cinta palsu??
Saya masih bisa ngeles, lhoo saya gak nitipin anak-anak sama si embak/bibi kok. Saya nitipin sama Mbah dan Akungnya (alhamdulilaah, semoga mereka selalu diberi kesehatan, dimuliakan derajatnya, amiin), si embak cuma membantu menjaga mereka. Tapi esensi yang saya dapat dari pesan itu tak menghilangkan rasa berat di dada saya untuk mengakui bahwa saya salah satu Ibu yang dimaksudkan. Betulkah saya menilai anak-anak saya, bintang kehidupan saya, semangat saya, jiwa saya, cinta saya dan hidup saya tidak lebih berharga dari harta benda??Apakah karena harus bekerja, saya menjadi Ibu dengan cinta palsu??
Sebelum ramai versi yang ini, sejak beberapa tahun lalu saya sudah akrab dengan kontroversi Ibu Bekerja VS Ibu Rumah Tangga atau biasanya dengan kurang tepat dialih bahasakan sebagai Working Mom VS Full Time Mom, Nah memang Ibu bekerja bukan full time mom yaa, lalu istilah ini berubah menjadi Stay at Home Mom. Saat itu saya baru akan memiliki anak ke 3, dengan dua balita yang sangat demanding. Pekerjaan yang juga tak kalah demanding, meskipun saya hanya PNS (sekarang istilahnya ASN - Aparatur Sipil Negara) namun loading pekerjaan di unit saya bekerja relatif tinggi dan dengan tingkat stress yang juga cukup lumayan.
Terlebih pekerjaan supporting keahlian dan substansi menuntut tidak hanya prima fisik, tapi mental dan juga "pikiran". Menyelesaikan beberapa naskah akademik dan RUU, terlibat pembahasan RUU yang complicated, politis dan melelahkan. belum lagi harus melakukan penelitian ke daerah dan seringnya ada jadwal meeting di akhir pekan. Saat itu saya amat sangat galau, terpikir untuk berhenti atau mencari alternatif pekerjaan atau institusi yang lebih banyak waktu luang atau setidaknya dengan jam kerja standar.
Terlebih pekerjaan supporting keahlian dan substansi menuntut tidak hanya prima fisik, tapi mental dan juga "pikiran". Menyelesaikan beberapa naskah akademik dan RUU, terlibat pembahasan RUU yang complicated, politis dan melelahkan. belum lagi harus melakukan penelitian ke daerah dan seringnya ada jadwal meeting di akhir pekan. Saat itu saya amat sangat galau, terpikir untuk berhenti atau mencari alternatif pekerjaan atau institusi yang lebih banyak waktu luang atau setidaknya dengan jam kerja standar.
Sejak muda (masa sekolah dan kuliah) saya memang bercita-cita bisa bekerja dan berkarya agar saya bisa bermanfaat bagi orang banyak, utamanya bagi keluarga saya. Kalaupun sudah berumahtangga dan punya anak, saya mau tetap bekerja dengan waktu yang lebih fleksibel. Saat itu yang terpikir adalah menjadi Guru atau Dosen (profesi yang paling dominan di keluarga besar saya). Tapi Tuhan berkehendak lain, saya terdampar di institusi politik ini.
Saya yang tak punya dan tak kenal siapa-siapa di institusi ini lolos menjadi salah satu pegawainya, saya berani jamin lulus murni karena tak ada unsur pendukung apapun di luar proses normal. Sesuatu yang jujur agak langka, saat wawancarapun bahkan saya sempat ditanya kenal siapa di institusi ini. Hmm tidak ada satupun, saya tahu dari pengumuman yang ditempel di kampus. Sebagai pencari lowongan kerja (tetap) karena status saat itupun tidak sepenuhnya jobless, saya mencoba peruntungan karena memenuhi semua persyaratan awal. Bertemu suamipun di tempat kerja ini. Kami bertemu dan berjodoh saat masing-masing sudah bekerja.
Saya yang tak punya dan tak kenal siapa-siapa di institusi ini lolos menjadi salah satu pegawainya, saya berani jamin lulus murni karena tak ada unsur pendukung apapun di luar proses normal. Sesuatu yang jujur agak langka, saat wawancarapun bahkan saya sempat ditanya kenal siapa di institusi ini. Hmm tidak ada satupun, saya tahu dari pengumuman yang ditempel di kampus. Sebagai pencari lowongan kerja (tetap) karena status saat itupun tidak sepenuhnya jobless, saya mencoba peruntungan karena memenuhi semua persyaratan awal. Bertemu suamipun di tempat kerja ini. Kami bertemu dan berjodoh saat masing-masing sudah bekerja.
Kegalauan beberapa tahun lalu kemudian mempertemukan saya dengan bisnis online yang bisa dikerjakan sebagai alternatif. Meskipun sejujurnya saat itu saya punya target bisa mendapat penghasilan yang mampu menggantikan gaji di kantor saya. Supaya saya bisa berhenti atau pensiun dini. Dua tahun lebih saya menjalaninya. Namun, utamanya karena alasan waktu, saya memutuskan berhenti dan fokus kembali. Padatnya pekerjaan utama sering membuat saya harus mengerjakan pekerjaan alternatif itu di rumah. Mengambil waktu saya dengan anak-anak. meskipun sekedar dengan mobilephone atau dengan lap top. Anak-anak tak pernah rela. Menunggu saat mereka sudah tidur, membuat saya amat kelelahan. Terlebih saat hadir anak ke-3 dengan PR tersendiri.
Target yang tak tercapai menuntut saya realistis. Padahal sejak memiliki anak saya berkomitmen tidak akan membawa pekerjaan kantor ke rumah. Pada dua tahun menjalani bisnis online itu, saya mengingkari komitmen tersebut, meski tujuan jangka panjangnya adalah agar bisa tetap bekerja dan berpenghasilan meski dari rumah dan masih bisa bersama anak-anak. Oh indah dan idealnya impian saya ini, saat itu yang saya pikirkan memang kondisi itulah yang paling ideal, sudah banyak yang mampu melakukannya, siapa tahu saya bisa. Tapi lagi-lagi saya harus sangat hati-hati dan realistis, si kecil sering protes saat saya sibuk dengan gadget, mereka tak bisa lebih tepatnya belum paham bahwa saya bukan sedang bersenang-senang, tapi sedang berkerja dengan gadget saya. Pada akhirnya saya harus memilih.
Kenapa sih dibela-belain banget bekerja dan berpenghasilan? gak percaya kalau rezeki sudah diatur sama Yang di Atas?? InsyaAllah amat sangat percaya, rezeki, jodoh, hidup, mati bahkan luruhnya sehelai daun dari ranting pohonnya, Tuhan yang mengatur. Dan sampai hari ini nyatanya saya harus percaya bahwa rezeki saya sebagian dititipkan melalui suami saya, tapi sebagian lain masih harus saya yang mengusahakan. Iya karena saya percaya, rezeki datang karena ada usaha. Saat ini kemampuan usaha saya ya bekerja di institusi ini. Mencoba usaha atau bisnis supaya lebih fleksibel? pernah! namun belum berhasil walapun belum merasa kapok. Masih mengumpulkan keberanian, ilmu, strategi dan terutama modal. Inipun impian terpendam dalam diri seorang PNS dan ibu 3 anak ini :)
Rezeki, materi bukan satu-satunya alasan meski harus diakui merupakan faktor utama. Saya dan suami yang sama-sama berangkat dari nol membangun rumah tangga. Alhamdulillah kami bukan dari keluarga yang mewariskan banyak materi, namun mewariskan pentingnya pendidikan untuk bisa mandiri. Memang tidak cukup penghasilan suami??? InsyaAllah cukup (bisa kalau dicukup-cukupkan), tapi selain berbagai cicilan dan tagihan bulanan yang harus dipenuhi, mulai dari listrik, spp sampai asuransi, kami juga punya tanggungjawab masing-masing pada orangtua masing-masing.
Kami juga harus mempersiapkan kebutuhan finansial pendidikan anak-anak kami. Karena semua orang tua pastinya bercita-cita anak-anak mereka mendapat pendidikan jauh lebih baik. Belum lagi wish list yang sedemikian menggoda, yang semata-mata bukan untuk saya tapi untuk suatu yang saya sebut "higher purpose". Sebegitu signifikannya kah peran penghasilan saya bagi keuangan keluarga? Kami (saya dan suami) sepakat "Iya", setidaknya sampai hari ini.
Kami juga harus mempersiapkan kebutuhan finansial pendidikan anak-anak kami. Karena semua orang tua pastinya bercita-cita anak-anak mereka mendapat pendidikan jauh lebih baik. Belum lagi wish list yang sedemikian menggoda, yang semata-mata bukan untuk saya tapi untuk suatu yang saya sebut "higher purpose". Sebegitu signifikannya kah peran penghasilan saya bagi keuangan keluarga? Kami (saya dan suami) sepakat "Iya", setidaknya sampai hari ini.
Iya, dengan kerelaan (yang membutuhkan waktu untuk itu) dan sadar dengan segala konsekuensi yang harus saya hadapi sebagai Ibu bekerja, sampai hari ini saya masih bekerja. Semaksimal mungkin menjadi pegawai yang baik dan bertanggungjawab dan sekeras mungkin berusaha mendedikasikan diri pada anak-anak meski selama 8-9 jam sehari saya tak ada bersama mereka plus jika ada beberapa weekend atau malam yang mungkin terpakai karena lembur.
Yaah paling kasusnya hampir selalu telat masuk kantor. Konsekuensinya, yaa potong tunjangan. Baiklaah, karena pagi hari selalu jadi rutinitas yang hectic dengan 3 krucils yang kecil-kecil, belum lagi drama pagi berjudul "Ibu dak buleh keljaa, Ibuu aku Ikuut", makin sempurnalah pagi hari saya. Saat ini drama diwakili si bungsu jagoan yang baru 2,5 tahun. Kakak-kakaknya (6, 4 th) sudah sibuk dengan persiapan sekolahnya sendiri. Hmm resah gelisah, iyaaa pastinya. Tapi ya itu tadi, konsekuensi yang harus saya hadapi.
Yaah paling kasusnya hampir selalu telat masuk kantor. Konsekuensinya, yaa potong tunjangan. Baiklaah, karena pagi hari selalu jadi rutinitas yang hectic dengan 3 krucils yang kecil-kecil, belum lagi drama pagi berjudul "Ibu dak buleh keljaa, Ibuu aku Ikuut", makin sempurnalah pagi hari saya. Saat ini drama diwakili si bungsu jagoan yang baru 2,5 tahun. Kakak-kakaknya (6, 4 th) sudah sibuk dengan persiapan sekolahnya sendiri. Hmm resah gelisah, iyaaa pastinya. Tapi ya itu tadi, konsekuensi yang harus saya hadapi.
Sepulang kerja (biasanya jelang maghrib atau habis maghrib) saya kadang tak punya waktu membersikan diri, pasti langsung mengajak mereka shalat berjamaáh, mengecek PR Kakak -kakak yang pastinya sambil digelendoti jagoan kecil yang super manja dengan Ibunya ini. Dulu menjadwalkan diri 2 kali seminggu mengajari Iqra', sekarang berkurang 1 kali seminggu karena ada jadwal mengaji di sore hari di Mushalla komplek. Main-main, bercanda... sekedar membacakan buku cerita (jadwalnya sih 2 kali dalam seminggu).
Terkadang makan malam dan mandi adalah urusan terakhir sebelum naik ke tempat tidur. Alhamdulillah ada Mbah Uti, para kakak tidur duluan di kamar mereka dengan Mbah. Saya sibuk dengan jagoan kecil yang hobby begadang. Hmm tengah malam dipastikan para kakak hijrah ke kamar saya, karena sudah ditinggal Mbah uti yang hanya ngelonin sampai mereka tertidur. Untuk urusan pribadi dan pekerjaan kantor yang terpaksa harus dikerjakan/dibawa ke rumah (termasuk ngeblog dan menulis) biasanya mencuri waktu istirahat saya.
Terkadang makan malam dan mandi adalah urusan terakhir sebelum naik ke tempat tidur. Alhamdulillah ada Mbah Uti, para kakak tidur duluan di kamar mereka dengan Mbah. Saya sibuk dengan jagoan kecil yang hobby begadang. Hmm tengah malam dipastikan para kakak hijrah ke kamar saya, karena sudah ditinggal Mbah uti yang hanya ngelonin sampai mereka tertidur. Untuk urusan pribadi dan pekerjaan kantor yang terpaksa harus dikerjakan/dibawa ke rumah (termasuk ngeblog dan menulis) biasanya mencuri waktu istirahat saya.
Lalu urusan domestik (di luar anak-anak)??? Iyaa sebagian besar urusan domestik di "manage" oleh Ibu mertua saya, dan dilaksanakan oleh ART. ART yang terakhir (sudah berkali-kali gonta ganti embak dengan berbagai alasan), semoga memang yang terakhir, karena terhitung cocok dengan yang ini :) - sangat membantu saya, karena tak perlu petunjuk atau perintah langsung. Sudah professional (alhamdulillah), sebagai ART yang berpengalaman, dia bisa menghandle urusan domestik dengan relatif baik. Sayapun terhitung bukan tipe yang cerewet soal urusan ini. Asal ada makan anak-anak, pakaian mereka rapih dan rumah tidak kotor. Kalau rumah berantakan karena polah 3 krucils, saya tidak mau terlalu memusingkan sepanjang saya sudah meminta para krucils bertanggungjawab dengan mainannya. Iya mereka bereskan, tapi namanya juga bocah yaaa alakadarnya.
Urusan domestik di luar anak-anak memang ART yang menangani. Tapi memandikan anak-anak, menyiapkan keperluan sampai mereka rapih dan siap ke sekolah dengan baju, tas, buku dan bekal, menyuapi makan, memastikan mereka makan (sendiri) itu tanggungjawab saya. Jadi prinsip saya sebisa mungkin selama saya masih bisa, selama saya ada di antara anak-anak, saya sendiri yang menghandel mereka, saya yang menemani dan meladeni mereka.
Sabtu/Minggu adalah waktu saya menjadi Ibu penuh waktu. Saya full menghandel anak-anak dari mereka bangun sampai mereka tidur lagi, Mbah uti waktunya libuur. Malah untuk quality time, sebisa mungkin saya dan suami memanfaatkan waktu weekend bersama anak-anak keluar, meski sekedar main di arena bermain anak-anak. Hmm tadi kondisi ideal, kalau ada satu dan lain hal skenario bisa berubah. Tentu saja saya paham dan sadar sekali dengan segala kemungkinan ini. "Me Time" sudah sejak 7 tahun yang lalu berubah menjadi "Our Time". Hmm bisa dihitung dengan jari saya menghabiskan me time sendiri, me time saya yaa bareng tiga krucils itu, atau dengan salah satu/salah duanya. Dengan ayah mereka, sesekali masih bisa dengan kebaikan hati Mbah uti dititipi mereka, kami bisa ngedate di luar. Again, makasih Mbaaah Luv u indeed :)
Sabtu/Minggu adalah waktu saya menjadi Ibu penuh waktu. Saya full menghandel anak-anak dari mereka bangun sampai mereka tidur lagi, Mbah uti waktunya libuur. Malah untuk quality time, sebisa mungkin saya dan suami memanfaatkan waktu weekend bersama anak-anak keluar, meski sekedar main di arena bermain anak-anak. Hmm tadi kondisi ideal, kalau ada satu dan lain hal skenario bisa berubah. Tentu saja saya paham dan sadar sekali dengan segala kemungkinan ini. "Me Time" sudah sejak 7 tahun yang lalu berubah menjadi "Our Time". Hmm bisa dihitung dengan jari saya menghabiskan me time sendiri, me time saya yaa bareng tiga krucils itu, atau dengan salah satu/salah duanya. Dengan ayah mereka, sesekali masih bisa dengan kebaikan hati Mbah uti dititipi mereka, kami bisa ngedate di luar. Again, makasih Mbaaah Luv u indeed :)
Apakah anak-anak rela Ibunya ini bekerja?? hasil wawanacara mendalam saya dengan para krucils tercinta, mostly dengan jujur mereka sebetulnya cenderung berkeinginan Ibunya ini tidak bekerja dalam artian selalu ada di antara mereka sepanjang hari. Hari senin menjadi hari yang agak menyebalkan, karena dipastikan anak-anak lebih lengket dan agak sulit menerima kenyataan bahwa pagi ini Ibunya harus ngantor. "Hmmm besok hari apa bu???" Senin. "Huuh sebel, berarti Ibu ke kantor ...Tidak sekali saya mendapat pertanyaan dari kedua krucils cantik saya " Ibu kenapa sih harus kerja, si a, si b dan seterusnya, Ibunya di rumah, nungguin di sekolah, nememin di rumah".
Saya sering malah dengan jujur bilang pada mereka, "Hmmm Ibu juga maunya begitu sayang, enak di rumah main sama kalian, ga desek-desekan di kereta tiap pagi dan sore, tapi kan Ibu harus pergi kerja sayang..." Walaupun Ibu kerja, Ibu kan tetap sayang sama kalian, mendoakan, dan selalu kangen". Para kakak yang sudah sekolah dan artinya sudah memiliki aktivitas dan kesibukan sendiri di pagi hingga siang/sore hari ini sudah sedikit lebih paham. Naah jagoan kecil yang masih belum bisa dikompromikan, Selalu ada drama pagi, meskipun malam hari selalu saya ajak bicara..."besok pagi, dek Paksi tidak menangis yaa, Ibu boleh kerja yaa, nanti sorenya Ibu pulang lagi, main lagi sama Paksi". Malamnya dia mengiyakan dan berjanji merelakan saya bekerja besok pagi. Keesokan paginya?? hahayyy... drama tetap terpentas,..alhamdulillah masih belum bisa datang untuk absen jari tepat waktu. Iya memang sekedar absen jari dan potongan tunjangan :(((, pekerjaan relatif dimulai pukul 09.00, saya sudah diruangan saat itu.
Saya sering malah dengan jujur bilang pada mereka, "Hmmm Ibu juga maunya begitu sayang, enak di rumah main sama kalian, ga desek-desekan di kereta tiap pagi dan sore, tapi kan Ibu harus pergi kerja sayang..." Walaupun Ibu kerja, Ibu kan tetap sayang sama kalian, mendoakan, dan selalu kangen". Para kakak yang sudah sekolah dan artinya sudah memiliki aktivitas dan kesibukan sendiri di pagi hingga siang/sore hari ini sudah sedikit lebih paham. Naah jagoan kecil yang masih belum bisa dikompromikan, Selalu ada drama pagi, meskipun malam hari selalu saya ajak bicara..."besok pagi, dek Paksi tidak menangis yaa, Ibu boleh kerja yaa, nanti sorenya Ibu pulang lagi, main lagi sama Paksi". Malamnya dia mengiyakan dan berjanji merelakan saya bekerja besok pagi. Keesokan paginya?? hahayyy... drama tetap terpentas,..alhamdulillah masih belum bisa datang untuk absen jari tepat waktu. Iya memang sekedar absen jari dan potongan tunjangan :(((, pekerjaan relatif dimulai pukul 09.00, saya sudah diruangan saat itu.
Mengapa saya bekerja??? sampai hari ini jawaban saya masih karena "harus dan butuh". Dengan komitmen di dalam hati setiap pagi "Bismillah Tawakkaltu ala Allah, Laa Haula walaa Quwwata illa Billah". Ya Rabb, saya berangkat kerja pagi ini (sering dengan rasa berat di dada) karena Engkau. Rabb, saya tidak bermaksud mengingkari kewajiban saya sebagai Ibu, saya amat sangat mencintai dan menyayangi mereka sepenuh hati saya, Engkau Maha Tahu. Menitipkannya pada Mbah Uti untuk dijaga , pada sekolah untuk dididik bukan karena saya ingin lari dari tanggungjawab ini. Engkau Maha Baik, ketentuanmu ini adalah yang terbaik. Jika ada saatnya Engkau mempercayakanku untuk selalu berada di antara mereka, tidaklah sulit bagiMu membuat demikian keadaanya.
Sejujurnya sering saya menangis sendiri (dan kadang ketahuan suami) saat merasa saya bukan Ibu yang baik bagi anak-anak saya. I am not the best mom they have, but I do believe I will always do my best for them...Saya sering mengatakan pada anak-anak saya (entah mereka paham atau tidak, tapi suatu saat saya yakin mereka paham) bahwa Ibunya ini sayang, sayang, sayang sepenuh hati Ibu pada mereka. Ibu pergi kerja bukan karena tak sayang, bukan karena mereka tidak lebih penting dari pekerjaan Ibu. Saya selalu menuntut mereka membalas kata yang sama, saya baru puas saat mereka juga bilang "aku juga sayang Ibu" sambil peluk dan cium. Sang jaogoan kecilpun selalu saya biasakan untuk membalas ungkapan cinta saya. "Ibu sayang Aci, Cinta Aci" .. "Aci cinta sama Ibu, Aci juga sayang Ibu". Jika itulah kebahagiaan paling paripurna untuk saya, lalu tegakah saya dianggap menyamakan mereka dengan harta beda dan materi, yang kebetulanpun saya tak menyimpannya di hati saya.
Saya bekerja, tidaklah pekerjaan saya menguasai rasa cinta saya pada anak-anak saya. Tuhan Maha Baik, Tuhan Maha Adil ... Saya hanya seorang Ibu bekerja yang tetap berusaha keras untuk berdedikasi pada anak-anak yang dicintainya sepenuh hati.
"Maafkan Ibu Nak... Luv U all ...LUV You, You Know I do..."
Pffuih, menahan napas saya bacanya Mbak. Penuturan seorang ibu yang jujur, lugas, dan apa adanya. Memang tidak mudah meninggalkan anak-anak saat kta bekerja ya. Apalagi kita dikelilingi stereotip tentang ibu bekerja dan ibu rumah tangga yang tidak bekerja. Masyarakat sosial kita memang memiliki cara pandang sendiri. Dan saya setuju dengan pendapat Mbak, setiap pilihan tentu menghasilkan konsekuensi. Bahkan tidak memilih pun ada konsekuensinya.
ReplyDeleteTak perlu risau dengan pandangan orang tentang anggapan menitipkan anak saat bekerja. Ibu mana sih yang tak ingin berdekatan dengan buah hatinya sepanjang waktu dan memantau perkembangan mereka dari jarak yang demikian dekat? Saya yakin setiap ibu memiliki hasrat untuk menemani anak-anaknya terus. Namun kondisi masing-masing keluarga dan rumah tangga kan berbeda. Masing-masing mempunyai kebutuhan juga kecenderungan yang tak sama. Jadi tak perlu galau karena Anda masih bekerja sekarang. Toh Mbak sendiri kan yang paham kebutuhan keluarga Mbak. Orang lain tentulah cuma sanggup menilai, yang bisa jadi benar, atau salah, mungkin sekadar asumsi belaka.
Sebagai ayah yang setiap hari berada di rumah, saya sangat memahami kegelisahan Mbak sebagai ibu. Memang berat, memang tak mudah, Tapi pilihan yang ada kan sekarang seperti ini. Dijalani saja dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab seperti ujaran Mbak di atas. Sambil berdoa semoga ada peluang atau opsi lain yang lebih memungkinkan berdekatan dengan anak-anak di rumah.
Saya doakan seoga Allah menganugerahkan kesabaran dan kemudahan untuk Mbak sekeluarga. Salam kenal dari Kota Hujan :)
Aiiih makasih sudah mampir mas belalang... makasih juga sharingnya juga ...Hikss beginilah klo emak2 curcol hehehe...
DeleteSalam kenal juga dr Ciputat, kita sering niih ke BOgor (Kebon Raya), walo sekedar buka tenda anak-anak dan selonjoran smbl liat mereka main. Tp sdh lama absen gegara Ujan melulu hehe...
anak-anaknya lucu2 ya :) salam cubit untuk Al, Za, dan Paksi .... *sokkenal.com*
ReplyDeleteAwww, jangan dicubit om, nti dibales lhooo sm 3 krucilsss... salam juga dr Al, Za n Paksi...:)
DeleteTak ada yang salah wanita bekerja. Namun urus rumah,suami dan anak jangan dilalaikan. Lakukan keduanya dengan ikhlas agar bernilai ibadah ya Jeng
ReplyDeleteSalam hangat dari Surabaya
InsyaAllah berusaha keras utk tidak lalai Pakde, pun sdh meminta keridhoan suami. Tp yg berat memang menghadapi anak-anak hikks... eh jd nambah curhatnya.
ReplyDeleteBelajar utk ikhlash insyaAllah, Pakde... Suwun sharingnya n mampirnyaa..
Waah senengnya pertama kalinya diampiri sm seleb blog kyk Pakde n Mas Belalang :D *nyengirgirang
saya harus menahan napas yang panjang pas membaca ini, bukannnya seorang istri itu untukl taat sama suami? bukan suami malah dilalaikan akhirnya rumah tangganya tak harmonis dan bahagia.. miris jika melihat seperti itu
ReplyDeletesalam manis ^_^
betul sekali, sy setuju bahwa isteri harus taat suami. Waktu sy terpikir utk berhenti dan mencari alternatif lainnya selalu didiskusikan dengan suami. Justru suami saya yg meminta sy berfikir ulang saat ingin berhenti bekerja karena alasan anak-anak. Karenyalah kemudian sy menaatinya dan masih bekerja smp hari ini. Kami berbagi peran, sy bukan nahkoda dan tdk berkewajiban menafkahi keluarga. Tp sy berkewajiban mensupport suami sy, jika dia membutuhkan termasuk mensuport agak perahu rumah tangga berjalan. Hmm memang sy belum menulis tentang hal ini di tulisan saya. Tp begitulah. Saya sebut berusaha keras tidak lalai, krn sy manusia dan perempuan yang tdk sempurna dan tanpa kekurangan. Begitu sebaliknya suami saya. So far, kondisi sy bekerja selalu dalam support suami. Sy sendiri kurang faham dibagian mana sy menyebutkan suami untuk dilalaikan :D ... nauzubillah, insyaAllah jangan smp terjadi. keluarga tetap adalah perjuangan utama.
DeleteTerimakasih sudah mampir dan salam manis jugaa.
Sebelum komen, lebih baik komentar pengunjung dimoderasi saja mak, supaya link2 togel bisa didelete dulu sehingga tidak muncul di kolom komentar, seringnya berisi virus.
ReplyDeleteIya saya tahu soal BBM itu. Di group BBM teman2 saya & group komunitas langsung saya cut, saya tidak mau membahas itu krn menurut saya itu tema yg absurd. Pertama karena banyak perempuan yg terpaksa bekerja demi menafkahi keluarganya. Kedua banyak perempuan yang lebih bermanfaat bagi banyak umat jika bekerja (dokter, guru, pekerja sosial, dll). Bukankah kita dianjurkan untuk bermanfaat tidak hanya bagi keluarga tapi juga untuk sebanyak-banyaknya umat? Ketiga, itu pendapat satu anak, sementara anak2 lain banyak yg lebih bangga jika ibunya bekerja. Keempat, ibu dirumah bukan berarti lebih banyak waktu. Penulis misalnya, lebih menghabiskan banyak waktu meskipun dikerjakan dirumah, bahkan sampai dibelain lembur yg semestinya menemani suami istirahat.
Apakah itu berarti sy dipihak ibu bekerja? Enggak juga, karena sudah saya memilih keluar dari pekerjaan meski karier sedang bagus & sempat bertugas keluar negeri. Sekarang saya SAHM. Apakah berarti saya sudah insyaf? Oh tidak! Karena SAHM itu juga harus pandai memanage resiko karena di masa tua tidak ada yang menjamin seperti gaji pensiun PNS.
Intinya, tiap perempuan benar atas pilihannya masing-masing karena tentunya sudah dibicarakan dengan suaminya sendiri dan disesuaikan dengan kondisi keluarganya sendiri. Pendapat suami orang lain ataupun pendapat anak orang lain, tidak penting! Semangat! :D
makasih Mak Lus, dah dimoderasi comment-nya... thx sarannya.
DeleteSayapun sebetulnya tidak dalam posisi memihak salah satu dan menilai yang satu lebih baik dari yg lain. tidakpun saya ingin mendapat pembenaran. betul sekali mak, sy sadar atas setiap konsekuensinya, jikapun kelak akhirnya (bisa jadi) sy kemudian menjadi SAHM, sy sedari sekarang pun sudah melihat adanya berbagai konsekuensi. Kadang kala semua yang orang katakan tentang kita atau sebenarnya bukan kita sepenuhnya yg dimaksudkan (biasanyakan mainnya generalis ..), kita tak harus mengambil hati sepenuhnya, jika ada yg bs membuat kita belajar, ada baiknya kita ambil. jika hanya membuat kita down krn merasa dihakimi, ada baiknay kita berlalu saja. tulisan ini lebih pada curhat dan mengurai unek-unek di hati. makasih sudah mampir Mak
Entah kenapa saya selalu suka apa yang dikatakan oleh Mak Lusi, you are so wise Mak. Bukan karena saya termasuk WM lho ya... Tapi bener lho, komennya itu sangat meneduhkan. "tiap perempuan benar atas pilihannya masing-masing karena tentunya sudah dibicarakan dengan suaminya sendiri dan disesuaikan dengan kondisi keluarganya sendiri. Pendapat suami orang lain ataupun pendapat anak orang lain, tidak penting". Super deh :)
DeleteTetap semangat ya Mak Ophi, mari terus berkarya dan mencintai keluarga dengan sepenuh hati.
Hmmm meneduhkan ya Mak...:)
DeleteSemangat juga Mak Uniek :)
Saat Ibu mengurusi hajat hidup orang banyak, anak Ibu akan diurusi Tuhan :D
ReplyDeleteKeep spirit Mom :D
insyaAllah Amiin, jd teringat sm Bu Risma Walkot Surabaya dalam wawancaranya dengan Najwa Shihab di Mata Najwa. (saking sibuknya ngurusi warga Surabaya), kadang sy keluarga dan anak-anak sy gak keurusan, tp sy yakin klo sy ngurusi warga Surabaya, Tuhan yg ngurusi anak dan keluarga saya. Peran saya bg orang banyak, masih jauuuh dari bu Risma tp setidaknya pola pikir beliau bener2 menginspirasi. Semangattt, makasih dah mampir ....:)
DeleteSdg merasakan kegalauan yg sperti Mbak rasakan.. insyaAllah anak2 kita kelak lbh pintar dan paham mengapa ibunya "mesti" bekerja diluar.. :)
ReplyDeleteAmiin ya Rabb... iya harus diquote kata "mesti" itu karena bagi sebagian perempuan bekerja sekedar pilihan, tp tidak sedikit yang menghadapinya bukan sebagai pilihan tp suatu kemestian. Smoga semua anak mendapat cinta terbaik para Ibunya meski sang Ibu harus bekerja ...
DeleteMakasih maak :)
Kalau saya sejak seya menjadi guru privat dari anak2 yang kedua orang tuany full bekerja , makanya saya gak ada ketertarikan tuk kerja full time... karena khawatir ketika berumah tangga dan punya anak ada banyak masalah dengan keluarga dan anak.. (terinspirasi dari anak2 yang ditinggal orang tuanya bekerja)
ReplyDeleteDan meski sampai saat ini saya belum punya anak... saya pilih pekerjaaan yang tidak makan banyak waktu full di kantor... saya lebih pilih pekerjaan sebagai marketing atau yang tidak pakai gaji tapi hanya komisi saja.. hehehe
Ya setiap pilihan pastinya ada resikonya... Dan saya yakin Mak dah siap dengan pilihan dan semua resikonya... Jadi gak perlu dengan apa kata orang...
Smoga yang terbaik juga utk Afrianti, yup karena setiap keputusan ada konsekuensinya...
DeleteMakasih sharingya ya say..:)
Stigma tak hanya melekat buat ibu yang bekerja, memang itulah kondisi masyarakat kita. saya pun sebagai ibu yang di rumah saja tak lepas kok dari stigma. 'Sekolah tinggi-tinggi kok nggak kerja, cuma di rumah saja, ngurus anak orang ndak sekolah aja bisa..deziiig. padahal saya memilih di rumah karena memang saya tak sanggup seperti mba dkk yg bekerja dari pagi hingga petang sementara pikiran terus dg anak-anak. saya salut dengan kalian yang sanggup menaggung beban ganda. Kalau mau nuruti apa kata lingkungan, rasanya tak ada yang benar jadi ibu. Yang bekerja dianggap nelantarin keluarga, yang ndak kerja dianggap menyia-nyiakan pendidikan. Jadi, jalani saja apa yang menurut kita cocok dan kita bertanggungjawab atas pilihan kita bukan orang lain.
ReplyDeleteNaah itu dia Mak... again pendapat2 yg umumnya mengenelarisir dan kemudian menjustifikasi sesuatu yang hakikatnya tak sepenuhnya demikian adanya sering menjadi beban bagi pihak yang dijustifikasi...
DeleteAkan sangat bijak, jika masing2 kita bs bersikap bijak dan tidak menjustifikasi begitu saja.
Kembali ke kita-nya... selama kita dan keluarga (suami) sdh menyepakati hal tersebut dan siap dengan konsekuensinya, ada baiknya suara-suara dari luar kita abaikan saja... apalagi jika itu tdk "membangun""..
Pada akhirnya kita harus menunjukkan tanggungjawab atas pilihan kita ya mak...:)
Tulisannya bagus mak, semangat!
ReplyDelete