Drama Sejak Pengurusan Visa
Hmm drama...Itulah kiranya yang bisa saya katakan menggambarkan keberangkatan saya ke Washinton DC bulan Oktober kemarin. Drama sudah dimulai dengan proses pengurusan visa yang agak "melelahkan". Sebetulnya bukan pada proses pengajuan dan pembuatan visanya yang hanya memakan waktu 3 hari sesuai prosedur untuk Government Visa, tapi proses birokrasi sebelum akhirnya visa itu bisa diajukan.Kunjungan saya 9 hari termasuk perjalanan ini untuk menghadiri undangan seminar atau semacam training tentang Legislative Drafting, Research and Analysis yang diselenggarakan oleh IRI (International Republican Institute) bekerja sama dengan HDP (House of Democratic Partnership), dengan peserta dari beberapa negara di Asia, Afrika, Eropa/ex Rusia, dan Pasifik.
Hmm yaah menggunakan paspor dinas dan mengajukan visa goverment mungkin lebih mudah kelihatannya. Tapi proses birokrasi untuk mengajukan semacam surat jalan bagi kami PNS tidaklah sederhana, dan jika proses itu sesuatu yang transparan, jelas dan terukur mungkin akan kami jalani dengan senang hati. Satu lagi catatannya, jikapun kami punya cukup waktu untuk mengikuti proses dan prosedur tersebut, jujur, tidak jelasnya praktik pelaksanaan aturan dan "rimba raya" di Sekretariat Negara tempat mengurus KTLN (Keterangan Tugas Luar Negeri) selalu menjadi hal yang memberatkan dada saya saat harus menjalani tugas ke luar negeri.
Terlebih dari sisi waktu, kami tak punya waktu panjang untuk mempersiapkan diri. Kurang dari satu bulan sejak saya dinominasikan untuk ikut program tersebut, dengan jadwal kami berangkat. Hmm siap-siap ambil nafas panjang.
Terlebih dari sisi waktu, kami tak punya waktu panjang untuk mempersiapkan diri. Kurang dari satu bulan sejak saya dinominasikan untuk ikut program tersebut, dengan jadwal kami berangkat. Hmm siap-siap ambil nafas panjang.
Mengingat saya masih harus mengerjakan tugas pokok, kami (saya dan rekan yang ditugasi) akhirnya memilih meminta "bantuan" mereka yang biasa mengurus hal tersebut dan sudah sangat paham belantara rimba raya di Setneg dan Kemenlu. Teringat 6 tahun lalu saat mengurus sendiri KTLN dan exit permit untuk keberangkatan saya study ke Australia.
Saya seperti bola pimpong yang dipindah-pidahkan ke sana ke mari dari satu ruangan ke ruangan lain, tanpa kepastian prosedural yang harus saya tempuh seperti apa dan berapa lama saya harus menunggu. Saya yang saat itu tak paham bahwa saya seharusnya menyelipkan beberapa lembaran rupiah di setiap meja yang saya datangi agar proses lebih cepat, harus menghadapi nasib "diceukin". Ahhh masih serasa ngeri-ngeri sedap mengingat hal itu. Tak ada pilihan, tak cukup waktu pula mengurus sendiri.
Saya seperti bola pimpong yang dipindah-pidahkan ke sana ke mari dari satu ruangan ke ruangan lain, tanpa kepastian prosedural yang harus saya tempuh seperti apa dan berapa lama saya harus menunggu. Saya yang saat itu tak paham bahwa saya seharusnya menyelipkan beberapa lembaran rupiah di setiap meja yang saya datangi agar proses lebih cepat, harus menghadapi nasib "diceukin". Ahhh masih serasa ngeri-ngeri sedap mengingat hal itu. Tak ada pilihan, tak cukup waktu pula mengurus sendiri.
Visa terbit dua hari sebelum berangkat. Masih belum tenang karena kami dijadwalkan berangkat dengan pesawat pukul 7.00 pagi hari Sabtu, sementara sampai hari Jumat kami belum menerima tiket. Ada sedikit kendala komunikasi dengan pihak penyelenggara di DC, karena perbedaan waktu sekitar 13 jam antara Jakarta dan DC.
Akhirnya saya harus menunggu untuk memastikan DC sudah pagi hari dan mereka bisa segera mengirimkan tiketnya melalui email. Sekitar Pukul 20.00 WIB setelah memastikan ke pihak USAID Jakarta, tiket diemailkan. Saya masih dalam perjalanan sepulang kantor dengan tugas lembur malam itu.
Akhirnya saya harus menunggu untuk memastikan DC sudah pagi hari dan mereka bisa segera mengirimkan tiketnya melalui email. Sekitar Pukul 20.00 WIB setelah memastikan ke pihak USAID Jakarta, tiket diemailkan. Saya masih dalam perjalanan sepulang kantor dengan tugas lembur malam itu.
Packing paling mendadak sepanjang pengalaman saya bepergian ke luar negeri. Tiba di rumah krucils sudah tertidur. Saya langsung packing dan hanya mampu memejamkan mata sebentar. Saya harus terbangun kembali dan berangkat menuju bandara. Maklumlah, perjalan Ciputat dan Soekarno Hatta dekat tapi jauh, hahaha apalagi jika ditambah faktor M maceet. Melewati beberapa titik yang dini hari jalanan masih ramai dan macet seperti pasar-pasar tradisional.
Baca: Library of Congress, WOW
Baca: Library of Congress, WOW
Drama di Chicago Airport
Drama selanjutnya terjadi dalam perjalanan menyebrangi samudra dan benua, menuju benua yang disebut-sebut ditemukan oleh Christopher Columbus tersebut. Jadwal take off, 7.10 WIB pagi. Saya harus sudah bersiap dan berangkat dari rumah saya paling lambat pukul 04.00 WIB dini hari. Perkiraan kondisi lalu lintas lancar, saya bisa sampai di Bandara pukul 05.00 WIB dan langsung check in. Selesai check in saya keluar untuk sholat subuh dan menunggu rekan yang belum tiba.
Saya menunggu cukup lama, tak ada kabar dari rekan saya yang rupanya sudah check in dan lebih dulu menuju gate tempat kami menunggu pesawat. Ahh saya segera masuk kembali setelah pamit dengan Ayahnya anak-anak. Menghindari pemeriksaan saat transit dan masuk POE (point of enter) imigrasi di Amerika, saya hanya membawa tas ransel yang berisi laptop serta perlengkapan pribadi yang sudah saya pastikan aman dan memenuhi syarat penerbangan internasional serta tas kecil tempat kamera DLSR saya.
Saya terlalu percaya diri untuk tidak membawa setidaknya satu baju ganti sekiranya ada kejadian tak terduga yang mengharuskan saya menggunakan baju tersebut. Misalnya jika terpaksa harus menginap di bandara karena tertinggal penerbangan atau jika ternyata koper kita tidak sampai sesuai waktu dan tempat tujuan akhir penerbangan kita. Kedua hal ini kemudian menjadi catatan penting buat saya.
Mungkin karena packing yang agak terburu-buru sehingga saya tak memperhitungkan hal tersebut. Walaupun alhamdulilah kedua kejadian ini tidak terjadi pada perjalanan saya ke DC kemarin. Hmm sebetulnya kejadian pertama nyaris terjadi, hiksss, nyaris dan alhamdulillah Tuhan Maha Baik mempertemukan saya dan rekan dengan Mr Benjamin di Chicago Airport itu. Begini cerita lengkapnya...
Mungkin karena packing yang agak terburu-buru sehingga saya tak memperhitungkan hal tersebut. Walaupun alhamdulilah kedua kejadian ini tidak terjadi pada perjalanan saya ke DC kemarin. Hmm sebetulnya kejadian pertama nyaris terjadi, hiksss, nyaris dan alhamdulillah Tuhan Maha Baik mempertemukan saya dan rekan dengan Mr Benjamin di Chicago Airport itu. Begini cerita lengkapnya...
Jadwal penerbangan ke Washington ternyata sama persis dengan itinerary yang disampaikan pada kami sebelumnya. Dari Soekarno Hatta kami terbang dengan ANNA/Nippon Airways, perusahaan penerbangan Jepang yang menurut saya jempol, selain pesawatnya yang masih baru, canggih, lengkap, lega, dan nyaman, para awak kabin sangat ramah dan helpful plus menu makanannya masih nyaman di lidah lokal saya. Saya beruntung bisa memesan posisi kursi dekat lorong dan ternyata saya sendirian, kursi sebelah kosong (hanya dua kursi di lajur tersebut). Tujuh jam Jakarta ke Narita Airport Tokyo.
Kami hanya punya waktu satu jam untuk transit. Kami harus bergegas untuk pindah ke pesawat United Airlines milik Amerika. Untungnya masih dalam satu terminal. Tak ada waktu bahkan untuk berpoto di Narita. Kami berkejaran dengan waktu menuju gate yang ditentukan. Seperti biasa di bagian imigrasilah waktu yang cukup menegangkan dan baru bisa bernafas lega setelah sampai di gate yang ditentukan. Selama kita mengikuti petunjuk rasanya tak akan tersesat karena sebetulnya semua petunjuk cukup jelas. Asalkan tidak ada miskomunikasi dengan rekan seperjalanan kita *nyengir*.
Kami hanya punya waktu satu jam untuk transit. Kami harus bergegas untuk pindah ke pesawat United Airlines milik Amerika. Untungnya masih dalam satu terminal. Tak ada waktu bahkan untuk berpoto di Narita. Kami berkejaran dengan waktu menuju gate yang ditentukan. Seperti biasa di bagian imigrasilah waktu yang cukup menegangkan dan baru bisa bernafas lega setelah sampai di gate yang ditentukan. Selama kita mengikuti petunjuk rasanya tak akan tersesat karena sebetulnya semua petunjuk cukup jelas. Asalkan tidak ada miskomunikasi dengan rekan seperjalanan kita *nyengir*.
Proses berjalan lancar sampai saya menduduki kursi saya di United Airlines. Meskipun saya dan rekan sempat dipanggil melalui pengeras suara karena persoalan nama di paspor. tapi saya tidak kaget, beberapa kali hal ini terjadi dalam penerbangan saya keluar negeri dan harus menjelaskan hal yang sama. Saya mendapat nomor besar sehingga duduk di bagian belakang pesawat. Posisi kursi dekat lorong dengan 3 kursi yang untungnya hanya terisi dua orang. 12 Jam Tokyo - Chicago, terasa melelahkan karena kondisi pesawat United ini berbeda dengan ANNA yang nyaman tadi.
Pesawatnya tampaknya lebih tua dengan perlengkapan terutama sarana hiburan yang terbatas. Para awak kabin juga kurang ramah. Mereka sudah sangat senior baca tua dan tidak segesit para awak kabin biasanya. Seingat saya, Qantas juga memiliki banyak awak kabin senior namun awak United ternyata jauh lebih senior. Tebakan saya usia mereka mungkin sudah diatas 50 tahunan, terlihat dari postur tubuh dan wajah.
Mereka juga tampaknya kurang telaten menangani penumpang. Makanan yang disajikanpun tak terlalu kena di lidah dan perut saya. Sekedar mengisi lambung agar tak kena asam lambung, saya memaksakan diri mengisi perut. Sayapun agak sulit terlelap selama 12 jam perjalanan di udara tersebut.
Mereka juga tampaknya kurang telaten menangani penumpang. Makanan yang disajikanpun tak terlalu kena di lidah dan perut saya. Sekedar mengisi lambung agar tak kena asam lambung, saya memaksakan diri mengisi perut. Sayapun agak sulit terlelap selama 12 jam perjalanan di udara tersebut.
Saya tetap bersyukur karena masih bisa menahan batuk dan tenggorokan yang menggelitik sepanjang jalan. Seminggu sebelum keberangkatan ini, saya check up ke THT dengan keluhan hidung yang selalu mampat dan berlendir setiap bangun pagi, kemudian dengan mudahnya terserah pilek dan sakit kepala sebelah di atas mata serta kemudian satu paket dengan gatalnya tenggorokan dan batuk menggelitik tanpa bisa berhenti sebelum saya benar-benar lelah.
Hasil pemeriksaan bahkan CT Scan yang saya lakukan, sinus saya masih aman ternyata alergi udara dingin (AC) lah yang menyebabkan semua itu. Terbayangkan berada di udara AC yang dingin dalam pesawat selama 12 jam. Saya sudah menyiapkan ricola, sejauh ini permen inilah yang cocok meredam batuk saya. Namun rasa tak nyaman ini mengakibatkan saya lebih merasa lelah dari seharusnya.
Hasil pemeriksaan bahkan CT Scan yang saya lakukan, sinus saya masih aman ternyata alergi udara dingin (AC) lah yang menyebabkan semua itu. Terbayangkan berada di udara AC yang dingin dalam pesawat selama 12 jam. Saya sudah menyiapkan ricola, sejauh ini permen inilah yang cocok meredam batuk saya. Namun rasa tak nyaman ini mengakibatkan saya lebih merasa lelah dari seharusnya.
Babak paling menegangkan dari drama itu terjadi di Chicago Airport. Waktu transit yang tersedia hanya dua jam. Ternyata pesawat terlambat mencapai bandara. Kami menunggu cukup lama di dalam pesawat sampai akhirnya pesawat bisa merapat di bandara dan penumpang bisa keluar pesawat. Hmm pilot atas nama awak kabin bahkan meminta maaf berkali-kali dan menyatakan kejadian ini sebagai hal yang sangat memalukan dan tidak semestinya terjadi.
Hmm jujur saya seperti sudah ada feeling bahwa akan ada hal yang tidak beres. Semacam prasangka. Namun saya berusaha meredamnya dalam hati bahwa InsyaAllah semua akan baik-baik saja. Saya juga terus berdoa agar proses masuk ke USA lewat Chicago sebagai POE ini bisa berjalan lancar.
Hmm jujur saya seperti sudah ada feeling bahwa akan ada hal yang tidak beres. Semacam prasangka. Namun saya berusaha meredamnya dalam hati bahwa InsyaAllah semua akan baik-baik saja. Saya juga terus berdoa agar proses masuk ke USA lewat Chicago sebagai POE ini bisa berjalan lancar.
Keluar dari pesawat sudah telat, kami buru-buru menuju tempat imigrasi clearance dan OMG....panjang nian antrian manusia. Selain karena banyaknya pesawat yang terlambat merapat ternyata jumlah petugas imigrasi sangat terbatas. Kemungkinan saat itu waktu pergantian shift. Beberapa counter tampak tanpa petugas. Kami bahkan dipindahkan ke jalur lain karena mengularnya antrian.
Hmmm berawal dari perpindahan jalur antrian inilah drama itu dimulai ahayyyy....Ternyata rekan saya menyempatkan diri ke kamar kecil. Saya yang sebetulnya juga pingin pipis menahan diri karena khawatir melihat panjangnya antrian. akhir kata kami terpisah belasan orang atau mungkin 20 orang lebih karena kami terpisah dua baris.
Hmmm berawal dari perpindahan jalur antrian inilah drama itu dimulai ahayyyy....Ternyata rekan saya menyempatkan diri ke kamar kecil. Saya yang sebetulnya juga pingin pipis menahan diri karena khawatir melihat panjangnya antrian. akhir kata kami terpisah belasan orang atau mungkin 20 orang lebih karena kami terpisah dua baris.
Saya khawatir karena agak sulit berkomunikasi dengan rekan saya tidak menyalakan ponselnya, tidak memiliki akun messanger/chat semacam bbm, whatsapp, atau sejenisnya yang bisa menggunakan jaringan internet jika jaringan telepon tidak tersedia. Kamipun sebelum keberangkatan berkomunikasi hanya lewat sms/telepon saja. Komunikasi dengan email bisa dilakukannya dari computer.
Melihat panjangnya antrian dan lambatnya proses pengecekan imigrasi, karena pengecekan yang sangat ketat membuat saya was-was. "Hmmm kayaknya kita terlambat niih mas," begitu ujar saya saat kami bertemu di ujung barisan antri yang sama. "Ahhh tenang saja, bukan salah kita dan bukan cuma kita yang terlambat...yang lain juga pasti banyak yang terlambat." Sikap tenang bahkan agar meremehkan rekan saya bukan membuat saya tenang justru membuat saya makin resah. Hmm kan tidak semua yang antri ini posisinya tengah transit.
Akhirnya dipastikan saya terlebih dahulu selesai proses di imigrasi yang justru hanya memakan waktu beberapa menit. Rupanya karena visa government di paspor dinas saya, saya bahkan tidak melakukan pengecekan finger print dan lain-lain layaknya pemegang visa biasa. Haddduuuuh, lama antriannya. Karena keterlambatan tersebut, koper-koperpun tidak tertata dengan baik. Hmm saya kaget, mereka ini Amerika, tapi kacau sekali managemennya :(.
Semua koper sudah diturunkan dari belt conveyor dan tak sesuai dengan daftar penerbangan. Butuh waktu ekstra untuk menemukannya. Alhamdulillah saya tak butuh waktu lama menemukan koper unyu-unyu milik saya, warnanya memang agak keungu-unguan jadi lumayan mencolok hihihi. Pemeriksaan di karantina hanya formalitas karena catatan di bagian imigrasi rupanya membuat saya dimudahkan melewati proses ini.
Baca juga: Tujuan Wisata Sejarah di Washington DC
Semua koper sudah diturunkan dari belt conveyor dan tak sesuai dengan daftar penerbangan. Butuh waktu ekstra untuk menemukannya. Alhamdulillah saya tak butuh waktu lama menemukan koper unyu-unyu milik saya, warnanya memang agak keungu-unguan jadi lumayan mencolok hihihi. Pemeriksaan di karantina hanya formalitas karena catatan di bagian imigrasi rupanya membuat saya dimudahkan melewati proses ini.
Baca juga: Tujuan Wisata Sejarah di Washington DC
Naah setelah keluar, harusnya saya lega dan bisa langsung menuju terminal 1 menuju penerbangan berikutnya. Tapi karena tak enak kalau ngeloyor sendiri, sementara rekan saya mungkin masih berada di antrian panjang tersebut. Meski galau tingkat tinggi, akhirnya saya putuskan untuk menunggu. Saya tak bisa menghubungi rekan saya karena ponselnya tidak aktif. Saya putuskan menunggu walaupun waktu makin mendekati batas akhir boarding ke pesawat selanjutnya.
Setelah menunggu lebih dari 15 menit dalam kegelisahan dan tak juga melihat batang hidungnya akhirnya saya putuskan untuk segera melaju. Jujur ada perasaan tidak enak saat itu. Tapi saya khawatir jangan-jangan rekan saya keluar dari pintu imigrasi yang lain (karena ada dua pintu sisi kanan dan sisi kiri) dan dia sudah duluan. Teringat peristiwa di Soekarno Hatta, di mana saya menunggunya di luar. Ternyata dia sudah masuk dan ke gate tujuan tanpa mengabari saya. Saya langsung naik ke lantai atas tempat kereta menuju terminal 1. Ahh saat menunggu kereta saya masih berharap rekan saya muncul.
Setelah menunggu lebih dari 15 menit dalam kegelisahan dan tak juga melihat batang hidungnya akhirnya saya putuskan untuk segera melaju. Jujur ada perasaan tidak enak saat itu. Tapi saya khawatir jangan-jangan rekan saya keluar dari pintu imigrasi yang lain (karena ada dua pintu sisi kanan dan sisi kiri) dan dia sudah duluan. Teringat peristiwa di Soekarno Hatta, di mana saya menunggunya di luar. Ternyata dia sudah masuk dan ke gate tujuan tanpa mengabari saya. Saya langsung naik ke lantai atas tempat kereta menuju terminal 1. Ahh saat menunggu kereta saya masih berharap rekan saya muncul.
Akhirnya saya tiba di terminal 1, tujuan akhir dari kereta yang membawa saya. Harus naik turun eskalator dengan koper besar saya. Akhirnya saya berada di tempat yang tepat, saya lihat 9 menit saja dari batas waktu boarding. Petugas check in memutuskan saya tak akan bisa mengejar 9 menit yang tersisa untuk boarding ke pesawat menuju Washington. Saya diminta menghubungi petugas untuk mereschedule jadwal penerbangan saya ke penerbangan selanjutnya, yang berjarak sekitar 3-4 jam kemudian.
Pada detik-detik saat saya menunggu proses reschedule, saya melihat rekan saya tengah berlari-lari mencari pintu atau gate tampaknya. Setelah berteriak-teriak memanggil namanya dan melambai-lambaikan tangan, *jujur maluuu juga dilihat orang-orang, tapi kalau saya tidak melakukannya rekan saya tidak akan melihat saya nih*. Akhirnya yang bersangkutan menyadari keberadaan saya di salah satu counter dan bergabung. Lalu saya sampaikan bahwa kami sudah ketinggalan pesawat sesuai schedule awal sehingga harus melakukan penjadwalan ulang.
Dibantu oleh petugas yang juga tampaknya agak bete (entah kenapa), akhirnya kami hanya mendapat satu kursi di penerbangan berikutnya. Satu kursi lain masih status stand by dan itu atas nama saya *huwaaa guling2*. Penerbangan selanjutnya ke Washington sekitar pukul 7.45 sore, sekitar 4 jam lagi dan pun saya belum tentu bisa berangkat. Petugasnya sudah bilang, "I have done my best...but still all seat are already fully booked, only one seat available so far."
Saya makin galau. "That's not fair, why should I got that SBY seat??? :( Hikss, saya yang menunggu kenapa saya yang harus mendapat jatah kursi stand by?? Hikss...sebetulnya bukan tak mau sendirian menunggu hingga besok pagi untuk penerbangan selanjutnya. Tapi saya sudah demikian kelelahan dan kurang tidur, saya tak membawa baju ganti. Terpapar AC di bandara semalaman, aah bagaimana kalau vertigo saya kambuh dan saya tak bisa bangun sampai waktunya boarding besok pagi.
Sementara saya tak mungkin keluar airport jika vertigo menyerang. Jujur bayangan buruk itu membuat saya panik. Mungkin karena demikian paniknya, saya sampai tak bisa mengoperasikan jaringan internet di ponsel saya. Padahal connectivity tersedia dan sinyal penuh. Entah tombol apa yang saya tekan hingga jaringan wifi tak berfungsi sebagaimana mestinya.
Setidaknya saya harus menghubungi PIC panitia di Washington bahwa kami tertinggal pesawat dan harus menunggu penerbangan berikutnya termasuk juga bahwa belum ada kepastian bahwa kami akan berangkat berdua. Hal ini terkait dengan orang yang harus menjemput kami di Washington DC Airport. Pada detik-detik akhir dari semua komunikasi yang saya lakukan kepada beberapa orang dengan jaringan wifi yang tak jelas itu justru yang tersambung adalah chat via hang out (aplikasi chat) dengan adik saya di Iowa.
Hmmm bukannya menjadi lebih tenang, saya malah agak bete karena justru dimarahi adik saya. "Ngapain tunggu-tungguan, udah tahu waktunya mepet, nunggunya di gate tempat boarding saja, bla bla bla...rempong!, Udah mampir aja ke sini, ke Des Meinos cuma 30 menit.." Walaah saya pikir pake bus, ternyata pake pesawat juga. Lhaaa pake duit dari Hongkong beli tiket ke sana *manyuun*.
Karena mungkin tidak enak pada saya, rekan saya mengambil keputusan bahwa jika saya tidak dapat kursi maka kami bakal berangkat di penerbangan yang sama besok pagi. Akhirnya kami memutuskan masuk dan menunggu di Gate yang telah ditentukan untuk penerbangan 3 jam ke depan ke Washington DC. Sampai di sana suasana masih sepi.
Tak lama ada petugas dengan wajah Asia, hmmm kayaknya wajah begini banyak di Singapore hihihi. Kami memberanikan diri bertanya dan minta tolong. Kami ceritakan kondisinya bahwa kami tertinggal pesawat karena antrian panjang di imigrasi dan telatnya pesawat merapat ke airport. Kami dialihkan ke penerbangan selanjutnya, namun sayangnya hanya mendapat satu kursi. satu kursi lain masih dengan status stand by.
"Let me see..." Ahhh setidaknya Bapak dengan nama Benjamin A ini (lihat dari badge name di dada kanannya) mau mencoba membantu. Namun memang kursi sudah fully booked dan sampai detik ini belum ada konfirmasi calon penumpang yang membatalkan perjalanan. "Hmm we prefer to go together sir, if it is not possible to have another seat for me, is it possible to arrange and make sure for our next morning flight in the same flight?.
"saya hanya bisa memastikan bahwa kamu berada di urutan pertama daftar tunggu", "kita lihat sampai waktu boarding nanti, segera setelah ada perkembangan nanti saya bantu." Ahhh yang bisa saya lakukan hanya berdoa semoga ada yang batal pergi ke DC. Jujur meskipun rekan saya tak akan berangkat duluan, namun saya tak siap harus menginap malam ini di Chicago Airport. I wanna sleep. I was so exhausted dan saya takut vertigo saya kambuuh *nangisbombay*
Lalu Mr Benjamin memastikan bahwa jika kami hanya dapat satu kursi, kami dipastikan mendapat dua kursi untuk penerbangan paling pagi keesokan harinya. Dia juga melihat kemungkinan apakah ada penerbangan lain, mungkin ke Washington Dulles Airport, tapi kami menolak karena bagasi kami sudah masuk dan tujuan akhirnya Washington DC Airport. "Ok then, I ll do my best, I can not guarantee that you will have your seat for next flight but I will do my best..." Huwwaa makasih pak, setidaknya bapak mau membantu hiksss *tetepnangisbombay* ehhh saya gak sampe nangis beneran lhooo :D. Tapi jujur sangat terharu.
Baca: Suatu Senja di GeorgeTown
Hmm hanya sekitar 15 menit saya merasa agak tenang. Tak lama ada pengumuman di pengeras suara bahwa, untuk penerbangan ke Washington DC berikutnya ada perpindahan gate. Hmm kamipun mau tak mau harus pindah ke gate yang dimaksud. Waduuh gimana ceritanya nih, kan pak Benjaminnya masih di Gate 20 ini. Saya makin panik karena ternyata Gate 15 yang dimaksud dijaga oleh petugas lain. Berarti kami harus mengulang kembali komunikasi yang kami lakukan dengan Mr Benjamin.
Ahhh meski sedari awal agak ragu, namun akhirnya kami beranikan diri bertanya dan meminta tolong. Sayang di sayang, petugas kali ini 180 derajat sikapnya dengan Mr Benjamin. Bukan bermaksud rasis, tapi wanita negro bertubuh besar ini tampak sangat jutek, *serasa nonton film Hollywood dan melihat peran wanita muda negro yang judes dan galak* dengan sangat cuek menolak permintaan tolong kami.
Memang belum waktunya dia melayani penumpang untuk penerbangan ke DC. Gate untuk penerbangan yang kami maksud memang belum dibuka. Haduuh makin mengkeret saya... Ya sudahlah, at least kami sudah berusaha. Tooh tadi Mr Benjamin bilang dia akan bantu semampu yang bisa dilakukan, hmm meskipun dia tidak bertugas di Gate 15 ini, kan sistemnya on line jadi mungkin dia bisa tetap pantau. Begitu batin saya menguatkan diri sendiri, seiring dengan berubahnya pikiran saya yang pelan-pelan saya setting. Jika terpaksa harus menginap di Bandara, semoga baik-baik saja *maksudnya vertigonya tak kambuh*.
Rasanya saya sudah berada pada titik pasrah, tapi lebih tenang karena kami sudah berusaha dan tak langsung menyerah. Saya meyakininya sebagai bentuk tawakkal. Sesempurna apapun rencana manusia, Tuhanlah penentu segalanya. Saya juga menguatkan diri, tak akan Tuhan beri ujian di luar kemampuan kita. Saya sudah lebih tenang, kembali mengutak-utik gadget yang full wifi namun tak juga bisa tersambung.
Ahhh tiba-tiba saya teringat dengan PIC panitia yang di Jakarta. Iseng-iseng saya sms, jujur tak yakin bisa terkirim juga karena saya belum aktivasi raomingnya. Pun perbedaan waktu 12 jam lebih rasanya saya tak bisa berharap banyak. Saya memberitahu mbak Prisilla dari IRI Jakarta kondisi dan keputusan yang kami sepakati. Saya bilang bahwa saya tak bisa menghubungi Jessica PIC IRI di Washington karena kesulitan jaringan internet. Ahhh kiranya sms itu terkirim.
Kami diminta tetap tenang, karena akan coba dikomunikasikan dengan PIC di Washington. Pada detik-detik yang bersamaan, tiba-tiba internet di smart phone saya working, ada beberapa notifikasi masuk, buru-buru saya email PIC Washington mengabarkan hal yang sama. Lega sekali melihat notifikasi "email sent", karena tak lama setelah itu jaringan kembali tak jelas. *tepokjidat*
Sekitar satu jam menuju boarding time. Saya kaget sekaligus happy luar biasa karena ternyata Mr Benjamin kemudian bertugas di gate tersebut. Aah entah dia sengaja pindah atau memang seharusnya dia pindah ke gate tersebut. Mbak-mbak negro yang judes tadi berlenggang menuju tempat lain. Ahhh senangnya, saya merasa lebih tenang. Mr Benjamin kemudian memanggil kami dan meminta kami duduk tak jauh dari counter.
So far, kondisi aman katanya, ada peluang saya bisa terangkut. List penumpang baik yang sudah book dengan nomor kursi mereka maupun yang dalam status stand by bisa dimonitor dari layar TV. Totally ada tiga penumpang dalam daftar tunggu, dari nama dan sosoknya kiranya orang India. Kami bisa melihat nama dan kursi mereka yang sudah check in dan yang belum. Dag dig dug...saya mengikuti perkembangan.
Saya perhatikan tampaknya, Mr Benjamin ini memang orang yang helpful dan friendly. Selain sangat ramah dengan wajah Asianya yang sumringah. Tak sungkan melayani banyak calon penumpang yang datang dengan berbagai persoalan. Dengan cekatan dan ramah semua dilayaninya. Termasuk pemuda India yang juga masuk daftar SBY seperti saya yang tampaknya sangat berterimakasih padanya. Hmmm jangan-jangan kasusnya sama dengan saya. Pesawat ke DC ternyata mundur dari jadwal karena awak kabin masih belum lengkap.
Hmmm ini Amerika tapi dari tadi kok pelayanan agak kacau juga yaa. Bikin dag dig dug saya makin lama aja. Menjelang gate dibuka, Mr Benjamin memanggil saya, dia bilang saya bisa berangkat, bahkan pemuda India itupun bisa berangkat. Alhamdulillah ya rabb... makasih banyak Mr Benjamin. Saya menyalaminya erat dan menyampaikan banyak terimakasih. begitu juga rekan saya. saya tak lupa mengabari ke Jakarta bahwa kami positif berangkat dengan pesawat jam 7.00.
Pesawat memang penuh sekali. Saya mendapat duduk di kursi no.16, rekan saya sesuai nomor kursi awal di kursi 26. Saya baru saja duduk di kursi saat melihat Mr. Benjamin masuk. Dia menanyakan mana teman saya, lalu saya tunjukkan kursinya. Ahh kiranya dia mengganti nomor kursinya agar rekan saya bisa duduk di sebelah saya yang ternyata masih kosong. Supaya kalian bisa bersama, begitu ucapnya. Saya tak lupa kembali berterimakasih. Mungkin dia pikir kami pasangan suami isteri. Ahhh ternyata masih ada yang ramah dan demikian peduli yaa. Saya beruntung sekali bertemu dengannya.
Belum separuh perjalanan tiba-tiba awak kabin yang cantik mengumumkan bahwa pesawat akan mendarat di Airport Washington DC sesuai jadwal yang ditentukan, namun ada kasus medical emergency sehingga nanti kami diminta untuk tetap berada di pesawat sampai evakuasi terhadap korban selesai dilakukan sesuai prosedur. Ooh ternyata ada penumpang yang sakit. Saya menduga mungkin jantung, belakangan saya mendengar yang bersangkutan punya kanker.
Hmmm drama betul perjalanan saya kali ini. Sampai di bandara dan mendarat. Saya melihat mobil-mobil termasuk ambulance dari petugas medis airport sudah siap berjaga. Ala film-film hollywood begitu. Evakuasi dilakukan segera setelah pesawat mendarat. Kami diminta bersabar menunggu proses tersebut selesai. Hmm bedanya dengan di Indonesia, pasti banyak yang mengeluh atau bahkan nyeletuk atau protes jika harus menunggu lama seperti ini. Tapi tampaknya, nyawa dan kesehatan sangat dihargai di sana. Semua penumpang menunggu dengan sabar hingga proses evakuasi selesai.
Akhirnya, touch down DC, segera kami turun. Di bawah kami sudah ditunggu seorang pemuda yang membawa kertas bertulisakan nama kami berdua. Teddy, salah satu panitia dari IRI Washington kemudian mengantar kami menuju hotel tempat kami menginap. Teddy sempat bercanda bahwa dia mendengar ada proses evakuasi medis dari pesawat yang kami tumpangi dan dia berharap semoga itu bukan kami.
Teddy memastikan bahwa perjalanan kami sangat jauh dan melelahkan. Dari bandara ke hotel ternyata cukup dekat . Hanya sekitar 15 menit kami sampai. Jessica yang menunggu kami tampak lega. "Ahhh senangnya kalian akhirnya sampai dan tak harus menunggu penerbangan esok pagi." begitu ucapnya saat menyambut kami keluar dari Taxi.
Ah finally, welcome to DC.
Pada detik-detik saat saya menunggu proses reschedule, saya melihat rekan saya tengah berlari-lari mencari pintu atau gate tampaknya. Setelah berteriak-teriak memanggil namanya dan melambai-lambaikan tangan, *jujur maluuu juga dilihat orang-orang, tapi kalau saya tidak melakukannya rekan saya tidak akan melihat saya nih*. Akhirnya yang bersangkutan menyadari keberadaan saya di salah satu counter dan bergabung. Lalu saya sampaikan bahwa kami sudah ketinggalan pesawat sesuai schedule awal sehingga harus melakukan penjadwalan ulang.
Dibantu oleh petugas yang juga tampaknya agak bete (entah kenapa), akhirnya kami hanya mendapat satu kursi di penerbangan berikutnya. Satu kursi lain masih status stand by dan itu atas nama saya *huwaaa guling2*. Penerbangan selanjutnya ke Washington sekitar pukul 7.45 sore, sekitar 4 jam lagi dan pun saya belum tentu bisa berangkat. Petugasnya sudah bilang, "I have done my best...but still all seat are already fully booked, only one seat available so far."
Saya makin galau. "That's not fair, why should I got that SBY seat??? :( Hikss, saya yang menunggu kenapa saya yang harus mendapat jatah kursi stand by?? Hikss...sebetulnya bukan tak mau sendirian menunggu hingga besok pagi untuk penerbangan selanjutnya. Tapi saya sudah demikian kelelahan dan kurang tidur, saya tak membawa baju ganti. Terpapar AC di bandara semalaman, aah bagaimana kalau vertigo saya kambuh dan saya tak bisa bangun sampai waktunya boarding besok pagi.
Sementara saya tak mungkin keluar airport jika vertigo menyerang. Jujur bayangan buruk itu membuat saya panik. Mungkin karena demikian paniknya, saya sampai tak bisa mengoperasikan jaringan internet di ponsel saya. Padahal connectivity tersedia dan sinyal penuh. Entah tombol apa yang saya tekan hingga jaringan wifi tak berfungsi sebagaimana mestinya.
Setidaknya saya harus menghubungi PIC panitia di Washington bahwa kami tertinggal pesawat dan harus menunggu penerbangan berikutnya termasuk juga bahwa belum ada kepastian bahwa kami akan berangkat berdua. Hal ini terkait dengan orang yang harus menjemput kami di Washington DC Airport. Pada detik-detik akhir dari semua komunikasi yang saya lakukan kepada beberapa orang dengan jaringan wifi yang tak jelas itu justru yang tersambung adalah chat via hang out (aplikasi chat) dengan adik saya di Iowa.
Hmmm bukannya menjadi lebih tenang, saya malah agak bete karena justru dimarahi adik saya. "Ngapain tunggu-tungguan, udah tahu waktunya mepet, nunggunya di gate tempat boarding saja, bla bla bla...rempong!, Udah mampir aja ke sini, ke Des Meinos cuma 30 menit.." Walaah saya pikir pake bus, ternyata pake pesawat juga. Lhaaa pake duit dari Hongkong beli tiket ke sana *manyuun*.
Karena mungkin tidak enak pada saya, rekan saya mengambil keputusan bahwa jika saya tidak dapat kursi maka kami bakal berangkat di penerbangan yang sama besok pagi. Akhirnya kami memutuskan masuk dan menunggu di Gate yang telah ditentukan untuk penerbangan 3 jam ke depan ke Washington DC. Sampai di sana suasana masih sepi.
Tak lama ada petugas dengan wajah Asia, hmmm kayaknya wajah begini banyak di Singapore hihihi. Kami memberanikan diri bertanya dan minta tolong. Kami ceritakan kondisinya bahwa kami tertinggal pesawat karena antrian panjang di imigrasi dan telatnya pesawat merapat ke airport. Kami dialihkan ke penerbangan selanjutnya, namun sayangnya hanya mendapat satu kursi. satu kursi lain masih dengan status stand by.
"Let me see..." Ahhh setidaknya Bapak dengan nama Benjamin A ini (lihat dari badge name di dada kanannya) mau mencoba membantu. Namun memang kursi sudah fully booked dan sampai detik ini belum ada konfirmasi calon penumpang yang membatalkan perjalanan. "Hmm we prefer to go together sir, if it is not possible to have another seat for me, is it possible to arrange and make sure for our next morning flight in the same flight?.
"saya hanya bisa memastikan bahwa kamu berada di urutan pertama daftar tunggu", "kita lihat sampai waktu boarding nanti, segera setelah ada perkembangan nanti saya bantu." Ahhh yang bisa saya lakukan hanya berdoa semoga ada yang batal pergi ke DC. Jujur meskipun rekan saya tak akan berangkat duluan, namun saya tak siap harus menginap malam ini di Chicago Airport. I wanna sleep. I was so exhausted dan saya takut vertigo saya kambuuh *nangisbombay*
Lalu Mr Benjamin memastikan bahwa jika kami hanya dapat satu kursi, kami dipastikan mendapat dua kursi untuk penerbangan paling pagi keesokan harinya. Dia juga melihat kemungkinan apakah ada penerbangan lain, mungkin ke Washington Dulles Airport, tapi kami menolak karena bagasi kami sudah masuk dan tujuan akhirnya Washington DC Airport. "Ok then, I ll do my best, I can not guarantee that you will have your seat for next flight but I will do my best..." Huwwaa makasih pak, setidaknya bapak mau membantu hiksss *tetepnangisbombay* ehhh saya gak sampe nangis beneran lhooo :D. Tapi jujur sangat terharu.
Baca: Suatu Senja di GeorgeTown
Hmm hanya sekitar 15 menit saya merasa agak tenang. Tak lama ada pengumuman di pengeras suara bahwa, untuk penerbangan ke Washington DC berikutnya ada perpindahan gate. Hmm kamipun mau tak mau harus pindah ke gate yang dimaksud. Waduuh gimana ceritanya nih, kan pak Benjaminnya masih di Gate 20 ini. Saya makin panik karena ternyata Gate 15 yang dimaksud dijaga oleh petugas lain. Berarti kami harus mengulang kembali komunikasi yang kami lakukan dengan Mr Benjamin.
Ahhh meski sedari awal agak ragu, namun akhirnya kami beranikan diri bertanya dan meminta tolong. Sayang di sayang, petugas kali ini 180 derajat sikapnya dengan Mr Benjamin. Bukan bermaksud rasis, tapi wanita negro bertubuh besar ini tampak sangat jutek, *serasa nonton film Hollywood dan melihat peran wanita muda negro yang judes dan galak* dengan sangat cuek menolak permintaan tolong kami.
Memang belum waktunya dia melayani penumpang untuk penerbangan ke DC. Gate untuk penerbangan yang kami maksud memang belum dibuka. Haduuh makin mengkeret saya... Ya sudahlah, at least kami sudah berusaha. Tooh tadi Mr Benjamin bilang dia akan bantu semampu yang bisa dilakukan, hmm meskipun dia tidak bertugas di Gate 15 ini, kan sistemnya on line jadi mungkin dia bisa tetap pantau. Begitu batin saya menguatkan diri sendiri, seiring dengan berubahnya pikiran saya yang pelan-pelan saya setting. Jika terpaksa harus menginap di Bandara, semoga baik-baik saja *maksudnya vertigonya tak kambuh*.
Rasanya saya sudah berada pada titik pasrah, tapi lebih tenang karena kami sudah berusaha dan tak langsung menyerah. Saya meyakininya sebagai bentuk tawakkal. Sesempurna apapun rencana manusia, Tuhanlah penentu segalanya. Saya juga menguatkan diri, tak akan Tuhan beri ujian di luar kemampuan kita. Saya sudah lebih tenang, kembali mengutak-utik gadget yang full wifi namun tak juga bisa tersambung.
Ahhh tiba-tiba saya teringat dengan PIC panitia yang di Jakarta. Iseng-iseng saya sms, jujur tak yakin bisa terkirim juga karena saya belum aktivasi raomingnya. Pun perbedaan waktu 12 jam lebih rasanya saya tak bisa berharap banyak. Saya memberitahu mbak Prisilla dari IRI Jakarta kondisi dan keputusan yang kami sepakati. Saya bilang bahwa saya tak bisa menghubungi Jessica PIC IRI di Washington karena kesulitan jaringan internet. Ahhh kiranya sms itu terkirim.
Kami diminta tetap tenang, karena akan coba dikomunikasikan dengan PIC di Washington. Pada detik-detik yang bersamaan, tiba-tiba internet di smart phone saya working, ada beberapa notifikasi masuk, buru-buru saya email PIC Washington mengabarkan hal yang sama. Lega sekali melihat notifikasi "email sent", karena tak lama setelah itu jaringan kembali tak jelas. *tepokjidat*
Sekitar satu jam menuju boarding time. Saya kaget sekaligus happy luar biasa karena ternyata Mr Benjamin kemudian bertugas di gate tersebut. Aah entah dia sengaja pindah atau memang seharusnya dia pindah ke gate tersebut. Mbak-mbak negro yang judes tadi berlenggang menuju tempat lain. Ahhh senangnya, saya merasa lebih tenang. Mr Benjamin kemudian memanggil kami dan meminta kami duduk tak jauh dari counter.
So far, kondisi aman katanya, ada peluang saya bisa terangkut. List penumpang baik yang sudah book dengan nomor kursi mereka maupun yang dalam status stand by bisa dimonitor dari layar TV. Totally ada tiga penumpang dalam daftar tunggu, dari nama dan sosoknya kiranya orang India. Kami bisa melihat nama dan kursi mereka yang sudah check in dan yang belum. Dag dig dug...saya mengikuti perkembangan.
Hmmm ini Amerika tapi dari tadi kok pelayanan agak kacau juga yaa. Bikin dag dig dug saya makin lama aja. Menjelang gate dibuka, Mr Benjamin memanggil saya, dia bilang saya bisa berangkat, bahkan pemuda India itupun bisa berangkat. Alhamdulillah ya rabb... makasih banyak Mr Benjamin. Saya menyalaminya erat dan menyampaikan banyak terimakasih. begitu juga rekan saya. saya tak lupa mengabari ke Jakarta bahwa kami positif berangkat dengan pesawat jam 7.00.
Pemandangan dari Gate 20 Chicago Airport, cuma sempet ngambil gambar ini :( |
Pesawat memang penuh sekali. Saya mendapat duduk di kursi no.16, rekan saya sesuai nomor kursi awal di kursi 26. Saya baru saja duduk di kursi saat melihat Mr. Benjamin masuk. Dia menanyakan mana teman saya, lalu saya tunjukkan kursinya. Ahh kiranya dia mengganti nomor kursinya agar rekan saya bisa duduk di sebelah saya yang ternyata masih kosong. Supaya kalian bisa bersama, begitu ucapnya. Saya tak lupa kembali berterimakasih. Mungkin dia pikir kami pasangan suami isteri. Ahhh ternyata masih ada yang ramah dan demikian peduli yaa. Saya beruntung sekali bertemu dengannya.
Drama Menjelang Touch Down DC
Pesawat siap berangkat ke Washington DC. Sekitar 2 jam lebih perjalanan. Layaknya pesawat lokal. tentu pesawat ini lebih kecil, rasanya seperti naik lion air hahaha. Maksud saya masih lebih nyaman Garudanya kita begitu. Saya berusaha memejamkan mata dan ingin istirahat. Rasa lelah semakin mendera. Biasanya kalau terlampau lelah saya makin sulit tertidur dan istirahat, ini justru memperburuk kondisi tubuh.Belum separuh perjalanan tiba-tiba awak kabin yang cantik mengumumkan bahwa pesawat akan mendarat di Airport Washington DC sesuai jadwal yang ditentukan, namun ada kasus medical emergency sehingga nanti kami diminta untuk tetap berada di pesawat sampai evakuasi terhadap korban selesai dilakukan sesuai prosedur. Ooh ternyata ada penumpang yang sakit. Saya menduga mungkin jantung, belakangan saya mendengar yang bersangkutan punya kanker.
Hmmm drama betul perjalanan saya kali ini. Sampai di bandara dan mendarat. Saya melihat mobil-mobil termasuk ambulance dari petugas medis airport sudah siap berjaga. Ala film-film hollywood begitu. Evakuasi dilakukan segera setelah pesawat mendarat. Kami diminta bersabar menunggu proses tersebut selesai. Hmm bedanya dengan di Indonesia, pasti banyak yang mengeluh atau bahkan nyeletuk atau protes jika harus menunggu lama seperti ini. Tapi tampaknya, nyawa dan kesehatan sangat dihargai di sana. Semua penumpang menunggu dengan sabar hingga proses evakuasi selesai.
Akhirnya, touch down DC, segera kami turun. Di bawah kami sudah ditunggu seorang pemuda yang membawa kertas bertulisakan nama kami berdua. Teddy, salah satu panitia dari IRI Washington kemudian mengantar kami menuju hotel tempat kami menginap. Teddy sempat bercanda bahwa dia mendengar ada proses evakuasi medis dari pesawat yang kami tumpangi dan dia berharap semoga itu bukan kami.
Teddy memastikan bahwa perjalanan kami sangat jauh dan melelahkan. Dari bandara ke hotel ternyata cukup dekat . Hanya sekitar 15 menit kami sampai. Jessica yang menunggu kami tampak lega. "Ahhh senangnya kalian akhirnya sampai dan tak harus menunggu penerbangan esok pagi." begitu ucapnya saat menyambut kami keluar dari Taxi.
Ah finally, welcome to DC.
Ternyata gitu ya Mak. Bisa jadi pelajaran banget kalo kita2 para emak suatu saat diperjalankan Allah ke Amrik.
ReplyDeleteiya maak...siap2 payung sebelum hujan gitu. mudah2an sih gak smp kejadian begini yaa
DeleteSaya membacanya saja lelah mbak, apalagi mbak yang menjalaninya. Tapi memang sering pertolongan itu datang pada saat kita sudah berusaha maksimal. Intinya berusaha kemudian tawakkal. Alhamdulillah ada orang seperti Mr. Benjamin. Salam kenal mbak, blognya sy follow
ReplyDeleteIyaa mak nulisnya juga lelah hahaha...itulah saya selalu berusaha mensetting pikiran Allah Maha baik...yang penting kita jg berusaha semampu kita...
DeleteSalam kenal juga dan makasih yaa sudah mampir
wah asyiknya bisa ke Amrik mak...walaupuin ada drama, justru itu meneambah kenangan selama dalam perjalanan ke negara super power itu, hehehe
ReplyDeleteIyaa... makin berkesan. Mudah2an lain kai ada perjalanan tidak pake darama-daraman hahaha
DeleteBerkunjung ke negeri orang tentunya sangat membanggakan terlebih negeri paman sam.
ReplyDeleteIyaa bersyukur sih pak pernah diberi kesempatan mendapatkan pengalaman ini. perjalanan ke Bumi Allah banyak memberi pelajaran
DeleteAku ada yang nangis mba, ketika MR Benjamin masuk ke pesawat dan akan menukar tempat duduk...hihiiii, iyaaah melelahkan sekali namun akhirnya dengan posistive thinking akhirnya Allah memberikan apa yang kita inginkan yaaak..."gak bobo di bandara"
ReplyDeleteSalam
Jujur...aku juga terharu banget maak...kok baik banget dia. smoga dia mendapat balasan terbaik dr Tuhan...:)
Deletesenangnya bisa jalan2 ke luar negeri, semoga aku juga bisa nanti _/\_
ReplyDeleteAmiin...semoga yaaa
Deleteaihhhh kapan aku dapet tugas ke LN ya mak, sejauh ini cuma keluar kota aja masih di jabar pula errrrrr
ReplyDeleteSemoga ya mak...langitkan mimpinya biar semesta mendukung
DeletePengalaman yg luar biasa,, jad pengen ke luar negeri, kapan ya??? hehehe
ReplyDeleteAyooo... langitkan mimpi dan harapannya, tak ada yg tak mungkin
DeleteWaduuuh membacanya jd ikut ikitan deg degan..
ReplyDeleteAlhamdulilah ya berjalan lancar
Iya mak...finally bisa touch down Amerikaah eh DC maksutnya
DeleteSenangnya bisa jalan-jalan gratis ke Amrik ya mak..baru tau ternyata penerbangan di amrik juga bisa kacau kaya gitu ya..
ReplyDeleteIya mak... agak kaget juga tuh. Kok bisa di negara semaju amrik hihih
DeleteWah ikut dag dig dug mbak bacanya :) Tapi iya emang airport besar di sana rawan banget delay karena security reasons. Jadi inget pengalaman aku lari-lari sambil dorong stroller untuk kejar connecting flight :D
ReplyDeleteSalam kenal ya.
Salam kenal mak...aku bbrp kali harus ngos2an plus dag dig dug di connecting flight kyk gini mak. Cm poe di chicago ini bikin aku lbh stress dr biasanya
DeletePertama krn US kan kedengerannya suka strict bgt trus jg krn kasus ebola n isis itu mrk makin ketat deh
Alhamdulillah ya mak, masih ada orang yang baik dimanapun di belahan dunia ini:)
ReplyDeleteIya alhamdulillah mak. Seneng bgt sekaligus terharu bs nemu org baik kyk mr benjamin ini
DeleteMr Benjamin :') *baca sambil ikut terharu mbayangin kejadiannya*
ReplyDeleteiya maak, terharu sangat sayaah...thatá why sy pengen sharing di sini. Btw makasih yaa dah mampir
Delete