"Kamu mau lanjut sekolah ke mana Nak?"
"Terserah Ibu.."
Hmm sudah saya duga. Jawaban Ka Zaha, bakal normatif seperti ini. Di satu sisi, wajar sih anak usia sekolah dasar memberikan jawaban seperti ini. Mereka mungkin belum punya preferensi yang jelas terlebih jika tidak ada referensi dari keluarga dekat yang seusia atau anak sulung? Nah tapi kan ada Ka Alinga yang saat ini sudah menjalani tahun ketiganya di sekolah lanjutan pertama?
Baca juga: Kapan si Kecil Siap Masuk Sekolah
Berbeda dengan Ka Alinga yang saat itu ketika ditanya mau melanjutkan di mana setelah SD? Ia dengan yakin menjawab ingin melanjutkan ke MTsN 1 Tangsel. Pilihan selanjutnya ke SMPN 4 Tangsel. Kalau tidak dapat di negeri baru mungkin ke SMP swasta begitu katanya.
Untuk yang belum tahu, MTs itu kepanjangan Madrasah Tsanawiyah ya artinya SMP. Namun MTs mengacu pada kurikulum dan sistem di bawah pembinaan Kementerian Agama. Selain belajar materi pelajaran seperti SMP pada umumnya, MTs memiliki banyak muatan lokal keagamaan. Saya menilainya sebagai kelebihan atau nilai plus dari MTs. Layaknya SMP, MTs pun ada yang negeri dikelola di bawah Kementerian Agama dan ada pula yang dikelola oleh lembaga pendidikan non pemerintah(swasta).
Sepengetahuan saya, preferensi Kakak Al saat itu sangat dipengaruhi oleh komunikasi dengan teman-temannya terutama teman dekatnya. Walhasil karena Ia sudah punya plan yang cukup jelas kami mensupprot saja. Alhamdulillah menunjukkan kesungguhannya Ka Al, sangat well-prepared mempersiapkan ini. Again rupanya karena komunikasi dengan beberapa temannya yang juga punya preferensi yang sama.
Bahkan untuk materi pelajaran yang perlu penguatan diadakan les tambahan dari Guru di Sekolah. Tentu saja materi yang maksud adalah materi agama Islam. Meski SD tempatnya belajar merupakan SD IT, namun muatan agama Islam tidak selengkap di MI (Madrasah Ibtidaiyah).
Ka Zaha sebetulnya sudah ditanya jauh-jauh hari terkait preferensi melanjutkan di mana, namun hingga hari H dia belum yakin mau kemana. Akhirnya keputusan itu sepenuhnya ada di tangan kami orang tuanya.
Baca juga: Hari Pertama Sekolah Trio Krucils
Negosiasi Antar Orang Tua
Tidak hanya soal preferensi anak akhirnya keputusan biasanya memang terletak pada kesepakatan dengan orang tua. Terus apa hubungannya dengan negosiasi? Nah ternyata dalam kasus kami, saya dan suami punya preferensi yang berbeda dalam memilih pendidikan untuk anak. Mungkin perbedaan ini belum terasa saat anak-anak di usia dini dan saat sekolah dasar.
Dalam kedua fase pendidikan ini saya dan rasanya suami sepakat bahwa kunci utamanya adalah di rumah, pada kami orang tua. Karena sekolah sebetulnya lebih ke ajang mereka bersosialiasi, bermain sambil belajar, dan pelan-pelan menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai yang juga harus banyak digerakkan oleh orang tua di rumah.
Untuk memilih pendidikan usia dini dan pendidikan dasar, kami sepakat menitipkan anak-anak ke lembaga yang membuat mereka merasa nyaman belajar, memiliki muatan keagamaan yang cukup, dan tentu saja kami sanggup secara finansial. Boleh dibilang anak-anak sekolah di sekolah swasta Islam kelas menengah lah ya. Teman-teman mereka mayoritas memiliki orang tua secara ekonom berada di level menengah atau bahkan lebih tinggi.
Kurikulum dan fasilitas juga relatif membuat mereka nyaman di sekolah meskipun tidak terlalu tinggi. Konsep full day school, tanpa PR kecuali project yang memang harus diselesaikan mandiri di rumah, banyak kegiatan tambahan yang menyenangkan dan membangun karakter anak, kesadaran akan cinta lingkungan, dan penanaman nilai-nilai religius sejak dini. Setidaknya itu kriteria kami saat itu.
Sejujurnya SD Negeri tidak masuk dalam pertimbangan kami. Sependek pengetahuan kami, di lingkungan sekitar kami hampir tidak ada SD Negeri yang bagus. Entah kalau di Jakarta ya. Jarak masih jadi pertimbangan kami untuk menyekolahkan anak-anak tidak jauh dari rumah. Selain untuk efektifitas, anak-anak akan mudah lelah dan hilang mood jika pagi-pagi harus berjibaku dengan kemacetan.
Saya sebetulnya sempat mencobakan Si Kakak Trial di sekolah dengan standar dan kurikulum internasional. Anaknya shock waktu itu, karena hari ini ada guru english native speaker yang mengajar. Kemudian ternyata dari sisi biaya, sejujurnya kami yang saat itu masih berjuang dari sisi ekonomi juga harus berpikir ulang karena biaya cukup tinggi. Usia anak yang berdekatan juga menjadi pertimbangan. Kalau kakaknya sekolah di sekolah "mahal", maka adik-adiknya tentu idealnya mendapatkan fasilitas yang sama. Hmm kami rasa belum mampu saat itu.
Lalu apakah kami punya kriteria yang sama untuk pendidikan lanjutan mereka?
Ternyata tidak. Kami punya preferensi yang berbeda, bahkan satu sama lain.
Saya cenderung memilih pendidikan menengah dengan muatan keagamaan yang cukup kuat. Bukan tanpa alasan, selain latar belakang pendidikan pribadi saya. Pendidikan agama menurut saya adalah utama dan pertama. Wajib hukumnya dipelajari. Menyadari bahwa di rumah karena satu dan lain hal kemungkinan besar kami tidak dapat intens dan terlalu dalam memberikan pendidikan agama maka saya merasa menitipkan ke lembaga yang berkompeten merupakan pilihan yang masuk akal.
Seandainya mereka mau, saya sangat ingin anak-anak mau belajar di pesantren. Namun. anak-anak cenderung tidak berkenan terlebih di usia SMP. Kakak Al misalnya sempat menegaskan. Bolehlah bu aku pesantren tapi nanti aja kalau aku masuk SMA. Kemauan dari anak-anak belum ada sama sekali meski saya sering memberikan support dan gambaran agar mereka termotivasi. Kalaupun tidak di pesantren maka pilihan sekolah menengah dengan basis agama yang cukup kuat seperti MTs atau SMP-IT menjadi pilihan saya berikutnya.
Sementara itu, Ayahnya anak-anak punya pertimbangan berbeda. Preferensi utamanya adalah sekolah SMP Negeri, kalau bisa yang favorit dan bagus. Saya melihat preferensi ini juga didasari oleh latar belakang pendidikannya. Dulu SMP dan SMAnya katanya sekolah negeri favorit di Jakarta Selatan. Saya tidak yakin juga kalau alasan berikutnya karena masalah biaya. Dalam kasus Ka Alinga meski sekolah negeri (MTsN) dan tidak dikenai SPP namun ada uang donasi komite yang jumlahnya juga tidak sedikit.
Selain preferensi yang sifatnya personal, sebetulnya sangat penting untuk mempertimbangkan kondisi anak. Meskpin saat ditanya, mereka menjawab terserah sekalipun. Saya kemudian meminta Ka Zaha untuk tetap mencoba untuk ikut seleksi MtsN 1 Tangsel. Untuk seleksi adminitrasi berdasarakan nilai lolos. Lalu masuk ke tahapan test yang dilakukan secara online kala itu.
Pertimbangkan Pendapat dan Preferensi Anak
Sejujurnya saya agak menyesal karena saya kurang optimal mensupport Ka Zaha menyiapkan diri sehingga ternyata kemudian belum berhasil. Terlebih ada kendala teknis terkait jaringan dan device. Belum mundur saya minta, Ka Zaha juga bisa mencoba di MTsN 3 Pondok Pinang. Sayangnya diseleksi administrasi yang juga dilakukan via sistem online, ternyata ada file yang menurut panitia tidak terupload sehingga Ka Zaha tidak lolos.
Untuk ke pesantren saya sudah coba merayunya. Tapi sampai di akhir dan ujung keputusan, Ka Zaha masih sangat berat dengan pilihan ini. Saya pun akhirnya memastikan bahwa memang pilihan ini masih belum siap jika pesantren
Qadarullah, rupanya Ka Zaha berjodoh dengan preferensi Ayahnya. Meskipun kami terkendala saat proses PPDB saat memilih jalur zonasi. Saat penitikan alamat rumah, ternyata peta dalam sistem PPDB merujuk ke Google Map, yang mana untuk wilayah rumah kami tidak sesuai dengan alamat secara administratifnya. Jadi alamat rumah kami masuk ke wilayah Kelurahan Ciputat Kecamatan Ciputatn namun di Google Map masuk Kelurahan Cipayung Kecamatan Ciputat. Memang kedua kelurahan ini letaknya berseberangan saja dipisahkan jalan besar.
Baca juga: Rangking Satu yang Semoga Makin Tangguh
Ketidakcocokan ini membuat kami tidak bisa melakukan proses pendaftaran PPDB dari jalur zonasi karena data tidak match. Sementara sistem online sudah disetting menggunakan Google Drive. Mengurus ke sekolah yang ditujupun tidak mendapatkan solusi demikian pula saat diarahkan untuk mengadu/melapor ke Posko PPDB Tangerang Selatan di SMPN 11 Tangsel. Salah satu panitia bahkan memastikan bahwa jikapun tidak terkendala dengan masalah penitikan zonasi, kecil kemungkinan Ka Zaha bisa diterima karena memang lokasinya terhitung jauh.
Namun demikian, petugas ini memberi solusi dengan tetap menitikkan pada titik sesuai dengan yang ada di systemn (based on Google Maps) meskipun secara data kemudian memang tidak cocok. Petugas tersebut siap menandatangani semacam surat keterangan yang menjamin bahwa kami sebetulnya masuk zonasi meskipun secara system tidak sesuai. Well, saya rasa solusi ini juga sekedar "menghibur" hahaha.
Untungnya petugas ini menganjurkan untuk mencoba jalur prestasi. Meskipun kuota jalur prestasi akademis jauh lebih kecil dan berbeda-beda tiap sekolah namun jika nilai raport cukup bagus, kesempatannnya tetap lebih baik. Saat kami beritahukan nilai raport Zaha, dia optimis bisa bersaing. Dengan catatan kami mendaftar di hari-hari terakhir dengan melihat peluang dari masing-masing sekolah, dimana nilainya bisa masuk dalam kuota yang tersedia.
Agak deg-degan juga sih! Menunggu di detik-detik terakhir sambil memantau perkembangan di masing-masing sekolah. Sementara, pilihan ke SMP swasta pilihan ternyata sudah tutup. Sebetulnya baik Ayahnya maupun Zaha prefer ke SMPN 4 Tangerang Selatan. Dulu kakaknya juga menjadikan SMPN ini alternatif jika gagal masuk MTsN.
Namun karena emamng tampaknya cukup favorit, di jalur prestasi akademikpun hingga jam-jam terakhir menjelang penutupan, persaingan dari nilai yang masuk cukup ketat. Agak riskan kalaupun Zaha harus dipaksakan mendaftar ke sini. Kemungkinan terpental dari daftar cukup besar mengingat dari nilai yang sudah masuk, nilai Ka Zaha ada di urutan 3-4 dari bawah nilai peserta jalur prestasi akademik yang sudah masuk dan terdata/terinput secara online dan muncul di website.
Alternatifnya adalah SMPN3 Tangerang Selatan, pertama dari sisi kualitas kelihatannya cukup baik dibandingkan pilihan lain demikian juga dengan lokasinya dari rumah. Akhirnya kami menyepakati untuk mendaftarkan ke sana mengingat opportunitynya jauh lebih besar karena nilai Ka Zaha bisa masuk di tengah dari daftar nilai peserta yang sudah masuk dan muncul di website PPDB. Bismillah kami ke sekolah yang sejujurnya bahkan kami blom pernah kunjungi secara fisik.
Singkat cerita, alhamdulillah Ka Zaha lulus di sini. Kabar gembira berikutnya sekolah ini punya kelas khusus dengan program khusus yang diberi nama Program Bina Bahasa. jadi selaindalam satu kelas jumlah murid tidak sebanyak kelas reguler, kelas yang nyaman dan ber-AC serta fasilitas loker, Program ini punya tambahan khusus bahasa Inggris berkerja sama dengan lembaga yang sudah bersertifikasi menggunakan program cambrige. Well, tidak seperti kelas biasa. Kelas ini memang berbayar. Selain uang program, ada uang pangkal, ada juga uang bulanan. Iya jadi kayak sekolah swasta juga sih.
Kami sengaja memilih kelas bina bahasa ini karena merasakan ada kebutuhan tersebut untuk Ka Zaha. Saat membayangkan kelas biasa dengan 50-60 orang per kelas saya gak membayangkan gimana nanti Ka Zaha. Saya bilang dia akan tenggelam di keriuhan kelas. Rasanya tidak akan efektif. Meskipun di awal sekolah masih dilakukan secara daring dan baru beberapa waktu belakangan dimulai PTMT. Setidaknya gurupun lebih concern pada siswa jika jumlahnya tidak terlalu besar dalam satu kelas. Semoga kamu merasa nyaman dan bisa mengembangkan diri di sekolah lanjutan pertamamu ya Nak. Semangat belajar dan nikmati masa indah sekolah.
Tahun ini kami akan bersiap kembali untuk hunting sekolah menengah atas untuk Ka Alinga yang sudah kelas 9. Ada cerita dan drama tersendiri juga pastinya kelak. Terlebih SMA adalah masa transisi yang sangat penting dalam educational journey anak-anak. Bismillah semoga dimudahkan.
No comments
Terimakasih sudah silaturahim, silahkan meninggalkan jejak di sini. Comment yang masuk saya moderasi terlebih dahulu ya. Mohon tidak meninggalkan link hidup.