Diskusi Legislasi dengan Aktor Dirty Vote, Daging Semua!

Permisiii, Boleh ya Ngobrol yang agak Berat!

Juarang banget sih aku share soal substansi kerjaan di blog yang ini. Biasanya di blog khusus terkait hukum dan perundang-undangan, - yang sedihnya sudah kayak sarang laba-laba saking lamanya gak ku sentuh-. Sampe-sampe domainnya lupa ku perpanjang. Konyol yaa hahaha. Ya sutralah, akhirnya aku mulai sharing-sharing sedikit soal kerjaan lewat blog Mom of Trio ini. InsyaAllah kalau blog yang ini akan tetap aku jaga seperti ku jaga dirimu *eaaa... Apalah ini absurd banget. 

Jujurly kangen nulis ringan dan ngacapruk di blog sesering dulu di mana kalau lagi capek dengan berbagai hal, ya larinya ke blog. Ku curahkan dalam rangkaian kata, lalu ku post dan kulupakan. Senengnya kalau ada yang comment atau DM merasa terbantu, terinspirasi, terinfo, terhibur, dan sejenisnya. Hmm atau bahkan sekedar melihat ternyata ada lho ya baca. Nah healing aku sesederhana itu gais... Sayangnya belakangan makin jarang nih. Yuuk kita galakkan lagi yuk! writing is healing!

Jadi aku tuh lagi excited banget di tengah rasa hopeless menghadapi fakta-fakta di dunia kerja aku di bidang legislasi yang sedemikian pragmatisnya tahun-tahun belakangan ini, eh alhamdulillah aku ditugasi sebagai salah satu anggota tim untuk perubahan (lebih tepatnya penggantian) dari Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang sudah diubah beberapa kali. 

Maaf ya gengs.. mulai deh bahasaku agak ribet nih. Well siap-siap aja ya, karena tulisan ini mungkin akan banyak mengandung bahasa hukum dan perundang-undangan. Hmm yang menurut banyak orang, ribet dan gak menarik itu hahaha. Dimaklum kok... emang gitu sih orang hukum, gak asik hahaha! *nunjuk diri sendiri lalu denial*


Bit amazed to Have Warm Discussion with Pak Uceng!




Kenapa segitu excited-nya, karena kemudian qadarullah aku berkesempatan ikut kegiatan uji konsep rancangan undang-undangan (RUU) tersebut dan berkesempatan berdiskusi dengan Pak Uceng (Punten Bapak, sok akrab). Hmm kalau kalian pengamat dan penonton dunia perpolitikan pasti dan harusnya tahu beliau sih. 

Apalagi sejak viralnya film"dirty vote", yes beliau salah satu aktornya hahaha. Bapak Zainal Arifin Mochtar satu dari tiga peran utamanya.  Para punggawa muda hukum tata negara. Selain Mba Bibiv dan Uda Ferry. Walah sok ikrib yaa, saya tahu beliau dan tentu pernah berinteraksi dengan beliau-beliau lah. Setidaknya secara kelembagaan. 

Secara personal yang pasti saya kenal beliau-beliau. Beliaunya belum tentu sih, tapi pasti familiar dengan entitas lembaga tempat saya mengabdikan diri. Secara beliau-beliau ini sering mengkritisi lembaga ini. "Gak papa, kritik kan tanda sayang ya Pak Uceng". Hahaha... 

Personally I had no hard feeling. It is such normal thing, indeed!

Se-amazed dan se excited itu Phi? Iyes, pertama karena sependek pengetahuan saya, biasanya beliau gak mau kalau diminta jadi narasumber atau berdiskusi dengan pihak lembaga kami. Dulu banget pernah sih  aku dan tim (tim apa ya udah lupa saking lamanya) diskusi terfokus sama beliau. Tapi sejak beberapa tahun belakangan, beliau menolak dan bersikap enggan jika diminta menjadi narasumber dan diskusi dengan kami (as supproting unit dari lembaga ya). 

Well, again penyikapan yang sah-sah aja sih menurutku. Aku mah anaknya positive thinking dan selow qiqiqi. Tahu kan gimana rasanya bekerja di lembaga yang lebih sering dihujat sak Indonesia, terlepas pro dan kontranya.

Baca: Sistem Pendukung Legislasi Parlemen Korea Selatan

Jadi ketika kemarin terinfo oleh Zizi, teman yang menjadi PIC untuk mengontak UGM bahwa beliau yang akan jadi narasumber dalam diskusi kami, aku sempat ragu sekaligus jadi excited banget. Waah keren nih Zizi, beliau bersedia lho diskusi sama kita.

Berasa kayak yang mau rujuk sama yang udah lama bubaran yaa hahaha. Pak Uceng  sempat sampaikan bahwa sebenarnya memang beliau biasanya enggan diskusi dengan kami hahaha. Iyes, selugas itu beliau Cyiin. Namun, mengingat ini terkait dengan undang-undang yang beliau sangat concern dan ada banyak hal yang penting untuk beliau share untuk perbaikan sistem legislasi kedepannya lewat rencana perubahan undang-undang tersebut maka beliau bersedia. 


Apa Saja Catatan Kritis Pak Uceng terhadap Rancangan Undang-Undang ini?

Ada beberapa hal yang menonjol dan critical yang menjadi masukan bagi penyempurnaan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), aku note beberapa yang rasanya mendasar yang menarik untuk mendapat pendalaman:


Heavy Legislation Power Belongs to The House? Yes or No?

Pak Uceng mengantarkan diskusi dengan statement awal bahwa problem dasar dari mekanisme pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) berasal dari UUD 1945, terutama Pasal 20 UUD 1945. UUD 1945 memperkuat peran pembentukan undang-undang atau legislasi kepada DPR sebagai legislatif. 

Pasal ini dimaknai sebagai dasar pemindahan kewenangan legislasi dari Presiden/Pemerintah sebagai eksekutif kepada DPR as legislatif, namun jika dicermati lebih jauh porsi eksekutif lebih besar dalam setiap tahapan pembentukan Undang-Undang (UU). Pada tiap tahapan pembentukan UU (perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan) lebih banyak didominasi peran Presiden/Pemerintah.

Pak Uceng menambahkan dalam sistem presidential, hanya Indonesia dan Mauritius yang menggunakan sistem pembahasan UU yang melibatkan Pemerintah/Presiden. Sedangkan di sistem presidential lain seperti di Amerika, peran legislasi berada di tangan legislatif  di mana pembahasan suatu undang-undang hanya dilakukan oleh House (DPR)  dan Senat (DPD). 

Tentu berbeda dengan sistem Parlementer. Kenapa dalam sistem parlementer, RUU harus dibahas bersama dengan Perdana Menteri? karena Perdana Menteri merupakan anggota DPR. Hal ini berbeda dalam konteks sistem presidential di mana harus ada perbedaan yang jelas antar legislatif dan eksekutif.

Amandemen UUD 1945 seolah-olah menyatakan kewenangan pembentukan Undang-Undang telah berpindah dari tangan eksekutif kepada legislatif, nyatanya kewenangan eksekutif masih sangat kuat. Terlebih dalam konteks pembahasan yang mana hak suara pemerintah dan DPR (yang terdiri dari berbagai fraksi) adalah 1:1. Persetujuan bersama dalam dua tingkat pembahasan menunjukkan betapa kuatnya posisi Presiden/Pemerintah.

Diskursus ini mengingatkan saya pada Almarhum Romo yang kerap membincangkan soal ini kepada saya. Bahkan sempat mengusulkan agar kelak saya mengambil disertasi terkait dengan topik ini untuk studi doktoral saya. Aminin aja, walaupun ternyata sampai hari ini belum ada langkah kongkrit untuk studi lanjutan.

Coba Phi, kaji lebih dalam apa benar legislative power saat ini berada di tangan DPR? kaji lagi deh Pasal-pasal di UUD 1945 itu. Dalami proses pembahasan amandemen UUD 1945 waktu itu, risalahnya ada di MPR lengkap. Ujikan dengan produktivitas dan kinerja legislasi DPR hingga saat ini baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. 

Duuh kok jadi dejavu yaa, jadi ingat diskusi hangat dengan Romo. Lahuu al Fatihah.

Baca: Selamat Jalan Romo, Selamat Kembali kepada Pemilikmu

Demikian pula halnya terkait dengan pengesahan, setelah disetujui bersama kemudian masuk ke tahapan pengesahan yang kewenangannya berada di tangan Presiden. Maka kita melihat hakikatnya UUD 1945 memberikan pengaturan yang jelas Dalam Pasal 20 ayat (5) bahwa "Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang- undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan." 

Bikin Undang-Udah tuh Sakral, Ojo Kesusu!

Belakangan kita mencermati banyak UU yang diproses dengan cepat dari proses biasanya. Hmm semacam fast trackl legislation mungkin ya, well tapi ini dibahas lain waktu ya. Namun masih terkait dengan bahasan sebelumnya Menurut Pak Uceng, dalam proses legislasi ada tahapan yang ter-skip. Padahal sangat penting.

Selain itu banyaknya kasus RUU yang telah mendapat persetujuan bersama dalam pembicaraan tingkat II namun kemudian Presiden tidak mau menandatangani sebagai bentuk pengesahannya menjadi tanda tanya tersendiri.  Bagaimana hal tersebut dimungkinkan terjadi padahal dalam pembahasan bersama antara Menteri dan pejabat pemerintah yang membahas dengan DPR sejak awal telah mendapatkan mandat khusus melalu Surpres tersendiri. 

Setelah Surpes dikeluarkan untuk menunjuk Menteri yang ditugasi melakukan pembahasan bersama dengan DPR disertai dengan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) maka seharusnya ada norma yang mewajibkan Menteri untuk melaporkan kembali kepada Presiden. Harus ada waktu atau kesempatan untuk melaporkan kepada Presiden dalam tahap pembahasan tingkat I dan tingkat II sehingga Presiden mendapatkan laporan yang lengkap dari Menteri yang ditugasi terkait dengan persetujuan dalam substansi RUU. 

Baca juga: Indvidual Meeting dengan Komisi Sosial Parlemen Swedia

Pada intinya harus ada proses yang menganggap UU sebagai suatu hal yang sakral. Penyusunan RUU tidak dilakukan secara grasa-grusu dan terburu-buru. Untuk itu dalam pembentukkan UU, menurut Pak Uceng perlu dibuat satu tahapan lagi, yakni tahapan simulasi. Dimana sebelum tahapan persetujuan harus dilakukan simulasi dan tahapan ini mengikat.  

Kalau soal bicara simulasi dalam proses penyusunan Undang-Undang, saya jadi teringat sama Bapak Prof Bomer Pasaribu.  Mantan anggota DPR RI beberapa periode dan juga Mantan Menteri di era Gusdur. Saat dulu beliau menjadi anggota DPR, rasanya menyenangkan dan banyak ilmu yang bisa didapat dari beliau yang selalu semangat da fit meski usia tak lagi muda. Nah salah satu yang sangat membekas saat bekerja dengan beliau menyusun RUU adalah beliau selalu menekankan kami untuk melakukan simulasi terhadap norma-norma yang kami susun.

Simulasi dilakukan untuk memastikan apakah norma-norma dapat diimplementasikan dan berkerja secara baik. Pentingnya simulasi untuk mencegah terjadinya pasal-pasal yang ternyata mengandung unintended consequences. Intended consequences = jika a maka b, unintended consequences = efek samping. Seperti UU LPS terkait kewajiban menjual bank yang di bail out LPS. Yang mungkin tidak diduga sebelumnya saat menormakan UU kalau ketentuan tersebut ternyata menimbulkan efek samping yang bisa dibilang merugikan. Unintended consequences yang ternyata efeknya sangat signifikan bagi kepentingan negara.

Pembentukan Undang-Undang Secara Politik Hukum Merupakan Kerja 4 Sektor

  • Ideologis/filosofis = falsafah negara Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. 
  • Teknokrasi = pembentukan suatu undang-undang harus menggunakan data. Naskah Akademik bukan kumpulan makalah. Mengapa misalnya UU Cipta Kerja menggunakan research based assessment? Pada tahapan apa diperlukan Naskah Akademik? Seharusnya Naskah Akademik tidak perlu harus ada di tahapan Prolegnas, cukup urgensi. Jika sudah disepakati urgensinya maka bisa disusun Naskah Akademiknya. Tahapan teknokrasi penting, namun dipisahkan tahapan teknokrasi antara yang disusun pembentuk UU dengan teknokrasi yang disusun akademisi (Naskah Akademik).
  • Politik: tidak dapat dipungkiri bahwa pembentukan suatu UU adalah proses politik namun harus dijaga jangan hanya kepentingan politik semata. 
  • Partisipasi:  pelibatan publik dalam pembentukan kebijakan. Ini yang menjadi pembeda dengan negara non demokrasi.

Partisipasi Publik dalam Proses Pembentukan Undang-Undang

Konsep partisipasi masyarakat jangan terkunci dengan konsep dari Arnstein karena konsep Arnstein lebih cocok pada partnership untuk konteks lokal. Perlu melihat konsep deliberasi dari Habermas. Bagaimana metode ruang publik dibangun. Partisipasi publik di berbagai negara demokrasi sangat rendah. Sehingga ruang publik yang harus diperlebar, untuk menangkap sebesar-besarnya kebutuhan masyarakat, misalnya melalui digitalisasi.

Terkait dengan meaningful participation dalam  Pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2011 dan perubahannya, Menurut Pak Uceng perlu dirumuskan ulang. Perlu dijelaskan terlebih dahulu apa pengertian meaningful participation. Pengertian ini dapat diambil dari hasil putusan Mahkamah Konstitusi, lalu dirinci dari ketiga hak tersebut apa saja dan bagaimana mekanismenya.
  • right to be heard: bagaimana mekanismenya dilakukan dengan mekanisme yang efektif dan efisien.
  • right to be considered: masukan masyarakat dimasukkan dalam agenda pembahasan/menjadi salah satu DIM.
  • right to be informed/explained: dijelaskan kepada masyarakat bagaimana substansi dan prosesnya. Penjelasan substansi dan proses tersebut dapat dituangkan dalam website pembentuk UU. 
Partisipasi masyarakat jangan hanya terbatas pada rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, seminar, lokakarya, diskusi, kegiatan konsultasi publik lainnya seperti diatur dalam Pasal 96 ayat (6).  


DPR sebaiknya membentuk unit khusus untuk proses mendapatkan persepsi masyarakat, dapat melalui survei dan riset, apa yang diinginkan oleh masyarakat. Dengan metode yang valid untuk memotret kebutuhan masyarakat, apakah masyarakat akan setuju dengan RUU?. 

Selain itu,  menurut Pak Uceng Frasa “terdampak langsung” dalam Pasal 96 ayat (3) UU P3 tidak perlu dicantumkan. Penggunaan frasa ‘terdampak langsung” justru membatasi ruang publik. Pasal 96 harus memperbesar ruang publik. Seperti UU MD3, masyarakat biasa (yang tidak terdampak langsung) juga ternyata  terdampak dengan UU MD3. Tentu saja hal ini tetap membutuhkan pelibatan masyarakat luas.



Hirarkhi dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan

Berdasarkan Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011, Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: 
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 
d. Peraturan Pemerintah; 
e. Peraturan Presiden; 
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan 
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. 

Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan tersebut sesuai dengan hierarkinya.

Adapun pengaturan mengenai materi muatan dari Peraturan Perundang-undangannya, diatur dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 15 UU Nomor 12 Tahun 2011. Namun menurut Pak Uceng, tidak jelas indikator yang membedakan materi muatan antar peraturan perundang-undangan secara hirarkhis tersebut (mana UU, mana Peraturan Pemerintah (PP), mana Peraturan Presiden (Perpres), mana Peraturan Menteri (Permen). Seharusnya dibuat gradasi secara jelas materi muatannya sesuai dengan hirarkhinya. 

Materi UU dibuat secara jelas seperti amanat UU dan urgensi penting/kebutuhan masyarakat. Terkait dengan PP, harus dibedakan antara PP Delegasi untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya dengan PP Atribusi sebagai hak Presiden menyelanggarakan kekuasaan pemerintahan negara. 

Adapun Peraturan Presiden (Perpres) secara teknis merupakan konsekuensi sistem predisential. Sebaiknya jenis peraturan perundang-undangan berhenti hingga di Perpres. Tidak perlu dibuat delegasi ke peraturan di bawahnya. Beliau menyampaikan jika seperti ini maka peraturan perundang-undangan akan didmoniasi oleh Perpres.

Sedangkan untuk Permen hanya beleid regel saja. Kondisi hyper-regulations saat ini ada di Permen yang jumlahnya ribuan dan over regulating, serta tumpang tindih antar sektor. Ke depan jika Permen hanya bersifat beleid regel, maka dapat mengurai masalah-masalah dan PR regulasi kita.


Untuk Peraturan Daerah (Perda) perlu dibedakan antara Perda atribusi (pelaksanaan kewenangan berdasarkan Pasal 18UUD NRI 1945) dan Perda delegasi (dari PP/Perpres). Sedangkan untuk Pelaksanaan teknis penyelenggaraan pemerintahan daerah cukup dengan Peraturan Kepala Daerah (Perkada). 

Jika dipertanyakan di mana letak/hirarkhi peraturan lembaga? Sederajat dengan apa? Pak Uceng berpendapat, posisinya di antara PP dan Perpres.

Saat hendak menutup diskusi saya mengajukan pertanyaan terkait pendapat beliau tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Menurut beliau  Perpu rezim Pasal 12 UUD NRI 1945 dan Pasal 22 UUD NRI 1945 harus dibedakan. Rezim Pasal 12 sifatnya sementara, sebagai Perpu einmalig, sekali pakai. Sedangkan Perpu rezim  Pasal 22 harus berlaku seperti UU biasa, dauerhaftig yakni berlaku terus menerus. 

Sebagai gambaran saya akan cuplik bunyi Pasal 12 dan Pasal 22 UUD NRI 1945, sebagai berikut ya:

Pasal 12
Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 22
(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. 
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. 
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

Selain dibedakan dari penyebab, alasan, dan dasar hukumnya, yang harus dibedakan juga adalah proses pengesahannya di DPR. Untuk rezim Pasal 12 bisa langsung pada proses persetujuan di DPR. Tolak atau setuju seluruhnya. Namun untuk rezim Pasal 22, proses persetujuan harus melalui proses legislasi biasa. Sehingga bisa jadi materi muatannya dimungkinkan kemudian diubah selayaknya proses legislasi (pembahasan UU) dan juga melibatkan publik atau ada proses partisipasi publik.

Ada juga yang menarik dari Pak Uceng terkait dengan administrasi atau aspek legal formal dalam proses pembahasan UU. Saat ini selain RUU (Batang Tubuh dan Penjelasan) dan Naskah Akademik, salah satu yang menjadi penting sebagai bagian dari proses pembahasan UU adalah adanya risalah rapat.  

Menurut Pak Uceng harus ada pembaharuani sistem risalah. Risalah bukan kumpulan DIM. Risalah merupakan catatan atas alasan utama mengapa keluar ayat/norma tersebut?  Risalah adalah pencatatan/keterangan yang menjelaskan proses kesepakatan dan munculnya pasal tersebut.

Risalah atau apapun namanya menjadi penting sebagai dokumen yang mendasari pengambilan keputusan atas suatu norma atau pasal. Dokumen tersebut menjadi dokumen resmi dan menjadi bagian dari proses pembahasan UU dan mengikat dalam memaknai suatu norma. Risalah ini harus dilegalkan sebagai bagian dari dokumen pembahasan. 

Mungkin tidak untuk dipublikasikan secara umum layaknya RUU (batang tubuh dan penjelasan) namun sebagai dokumen resmi yang bisa jadi rujukan ketika terjadi dispute/gugatan di Mahkamah Konstitusi terkait suatu pasal tertentu. Pak Uceng mencontohkan seperti saat pembahasan konvensi internasional dimana ada 3 kolom: Pasal + Penjelasan + Risalah.

Hmm alhamdulillah beberapa catatan pentingnya bisa ku share ulang di sini. Well selain sebagai catatan pribadi, semoga bermanfaat tentunya bagi yang membutuhkan informasi ini. 


No comments

Terimakasih sudah silaturahim, silahkan meninggalkan jejak di sini. Comment yang masuk saya moderasi terlebih dahulu ya. Mohon tidak meninggalkan link hidup.